Inovasi telah menjadi keharusan dalam mendorong kemajuan masyarakat. Desa-desa pun perlu memanfaatkan kemajuan itu guna memudahkan akses bagi masyarakat.
KENDARI, KOMPAS Penerapan teknologi tepat guna di perdesaan perlu terus didorong untuk menjadi solusi atas berbagai persoalan. Namun, teknologi itu perlu dukungan pendampingan dan kelembagaan yang kuat agar sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. Dengan begitu, masyarakat desa pun memahaminya, mulai perencanaan pembangunan desa hingga pengalokasian porsi anggaran.
Hal ini mengemuka dalam diskusi Teras Kita yang dilakukan Kompas, Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama), serta Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa). Diskusi ini mengusung tema ”Penerapan Teknologi Tepat Guna untuk Pengembangan Produk Unggulan Desa/Kawasan Perdesaan”.
Acara tersebut dibuka Ketua Umum Kagama Ganjar Pranowo. Adapun pembicara kunci adalah Samsul Widodo, Direktur Jenderal Pembangunan Daerah Tertinggal, Kemendesa. Hadir pula M Zamrun Firihu, Rektor Universitas Halu Oleo, dan wartawan Kompas, Andreas Maryoto, sebagai moderator.
Berinovasi
Saat membuka diskusi, Ganjar mengatakan, di Jawa Tengah banyak inovasi yang dilakukan dan menjadi solusi bagi banyak persoalan. Inovasi ini di antaranya menekan angka kematian ibu, angka kematian bayi dan anak balita, serta pembuatan aplikasi yang memudahkan warga desa mengurus berbagai surat ataupun perizinan tanpa harus menemui kepala desa.
”Sekarang semua desa saya minta memasang banner yang memuat dana desa, sumber dana, bantuan, penggunaan dana, program, dan lainnya. Ini soal transparansi dan agar warga juga tahu apa yang menjadi program pembangunan dan penggunaan anggaran,” katanya.
Sementara itu, Samsul Widodo mengatakan, dalam era di mana gawai dimiliki separuh penduduk Indonesia, warga desa harus diajak memanfaatkan gawai. Pemanfaatan ini bisa dalam bentuk pertanian dan pemasaran yang cerdas.
Di Situbondo, Jawa Timur, kata Samsul, sedang dilakukan pemetaan tanaman mangga menggunakan drone. Di wilayah ini, komoditas mangga tidak berada dalam bentuk perkebunan, tetapi ditanam warga. Jika jumlah tanaman bisa didata, produksi pun bisa ditaksir dan pasar akan mudah dicari. Ini berarti warga memiliki pendapatan tambahan.
”Kami juga sudah mencoba memanfaatkan drone, misalnya untuk memotret tanah. Kami juga sedang mengembangkan pemanfaatan teknologi sederhana untuk perikanan. Kami akan memasang tower untuk menembak signal ke laut guna mendata nelayan pengguna kapal 3-5 gros ton. Dengan cara ini, kita bisa tahu berapa jumlah dan hasilnya hingga pasar bisa dicari,” ucapnya.
Walau teknologi tepat guna (TTG) terbukti bisa menjadi solusi berbagai masalah, di banyak desa, pemanfaatan dana desa untuk TTG kerap terhambat. Ini karena dalam penyusunan program pembangunan, sering kali warga lebih memilih mengalokasikan anggaran untuk proyek infrastruktur ketimbang hal yang terkait TTG.
”Di desa saya ada warga yang menemukan inovasi untuk membuka kulit jagung sekaligus langsung memipil. Namun, saat penyusunan program pembangunan, warga tak setuju memberikan anggaran dana desa untuk membuat alat ini. Mereka lebih memilih membiayai infrastruktur,” kata Hasmina Hazlin, Kepala Desa Mekar Jaya, Kalisusu Barat, Kabupaten Muna Barat, Sulawesi Tenggara.
Terkait hal ini, Suprapedi, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kemendesa, mengatakan, semestinya dana desa bisa dimanfaatkan untuk membiayai program terkait TTG atau inovasi lainnya. ”Terutama jika inovasi tersebut terkait pengembangan komoditas atau produk unggulan desa.
Persoalannya tinggal memberikan pemahaman kepada warga desa. Memang pemanfaatan dana desa untuk TTG harus jelas arahnya ke mana dan kepentingannya apa,” katanya. (Ren)