Program Kesejahteraan Hindarkan Warga Lansia Telantar di Surabaya
Oleh
AGNES SWETTA PANDIA
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Berbagai program kesejahteraan bagi warga lanjut usia di Kota Surabaya mampu menambah angka harapan hidup kelompok ini. Jika sebelum ada program kesejahteraan seperti pemeriksaan kesehatan rutin, pemberian vitamin, serta olahraga, termasuk program permakanan, umur orang lansia rata-rata memasuki 71 tahun, kini menjadi 73 tahun.
Ketelatenan Pemkot Surabaya meningkatkan kesejahteraan warga lansia menjadi alasan bagi Wakil Bupati Semarang, Jawa Tengah, Ngesti Nugraha beserta rombongan melakukan kunjungan kerja ke Surabaya.
Maksud rombongan mengunjungi Surabaya, Jawa Timur, yang berpenduduk 3 juta jiwa ini bertalian dengan proses di Pemkab Semarang soal rencana peraturan daerah (raperda) penanganan kesejahteraan warga lansia. ”Kami mohon informasi untuk menjadi masukan dan kelak bisa diterapkan di Semarang,” ujar Ngesti.
Dalam kesempatan itu Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengatakan bahwa secara khusus Pemkot Surabaya tidak memiliki raperda untuk warga lansia. Namun, ada beberapa program penanganan bagi penduduk lansia. Orang lansia menjadi perhatian, ujar Risma, karena hampir 59.167 orang lansia miskin.
Selain pemberian makan gratis sekali sehari dan pemeriksaan kesehatan gratis, warga lansia juga mendapat pelatihan senam lansia di kampung dan Pemkot Surabaya menyediakan instruktur. Mereka yang mendapat pelatihan yang tinggal di Griya Werdha kini jumlahnya 123 orang.
Lebih lanjut, penduduk lansia juga difasilitasi dengan pelayanan kesehatan BPJS Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang semua biayanya ditanggung pemkot. Sementara itu, untuk permakanan bagi orang lansia, lanjutnya, sistem kepengurusan di lapangan diserahkan kepada masyarakat. ”Semua program pemkot agar tidak ada lansia di kota ini telantar,” katanya.
Seperti diungkapkan Sekretaris Dinas Sosial Surabaya Atiyun Najjah Indhira, tahun ini ada 29.249 penerima program permakanan. Jumlah itu terbagi untuk 17.537 orang lansia, 5.712 difabel, dan 6.000 anak yatim piatu.
Nilai makanan yang diberikan selalu bertambah. Jika pada awal program permakanan pada 2012 senilai Rp 4.000 per hari, kini menjadi Rp 11.000. Kemasannya juga berubah, dari bungkusan kertas menjadi tempat makanan dari plastik agar lebih higienis.
Makanan untuk tiap kategori berbeda-beda, disesuaikan dengan kebutuhan dan usianya. Ada 10 variasi menu makanan agar penerima tidak bosan. Setiap hari jatah penerima program permakanan sesuai dengan kebutuhan gizi yang direkomendasi oleh ahli gizi. Jatah itu ialah nasi, lauk, sayur, buah, dan air mineral.
Kepala Dinas Sosial Supomo menuturkan, masyarakat penerima program permakanan hanya untuk warga yang tidak mampu yang terdaftar di Basis Data Terpadu Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan.
Misalnya untuk penduduk lansia, usia minimal 60 tahun, tinggal sendirian, dan anak-anaknya tidak sanggup membiayai orangtuanya. Adapun anak yatim piatu ialah dari orangtua tidak mampu atau tidak diurus orangtuanya. Dan, bagi difabel karena keluarga tak menghidupinya. Khusus penerima dari kelompok yatim piatu berhak mendapat jatah makan sekali sehari hingga usia 18 tahun.
”Petugas di lapangan juga bisa mengusulkan penerima lain di luar Basis Data Terpadu jika di lapangan menemui warga yang amat membutuhkan, tetapi belum menerima bantuan,” kata Supomo.
Jangan sampai tidak makan
Terkait dengan program permakanan, Tri Rismaharini mengungkapkan, Pemkot Surabaya memberikan permakanan gratis karena ingin memastikan tidak ada warga yang tidak bisa makan. Sebab, makan adalah salah satu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi setiap hari.
Warga lansia, sebagai salah satu penerima, merupakan penduduk yang memiliki risiko tinggi mendapatkan masalah kesehatan baik secara fisik, mental, maupun sosial. Penduduk lansia umumnya mengalami penurunan kemampuan, seperti penurunan kemampuan fisik, emosional, mobilitas, berinteraksi sosial, tingkat kesehatan, dan lain-lain.
Akibatnya tidak semua warga lansia dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara layak dan hidupnya bergantung pada bantuan keluarga ataupun orang lain, bahkan memilih menjadi pengemis. Untuk memastikan tak ada lagi orang lansia, kaum difabel, dan yatim piatu, dari keluarga tak mampu, tak makan seharian, pemkot pun terus memasang mata dan telinga hingga gang sempit.
Seusai mendengar penjelasan Wali Kota Risma, Ngesti memuji berbagai macam program yang sudah dijalankan Pemkot Surabaya. Baginya, Surabaya memiliki potensi yang sangat baik dalam melayani, utamanya memperhatikan secara penuh, kebutuhan warga lansia.
”Khususnya persediaan taman lansia dan pelayanan kesehatan itu sangat penting bagi mereka dan itu akan kami terapkan di Semarang,” ujarnya.