SERANG, KOMPAS - Penerapan bea masuk impor ubin keramik disambut gembira kalangan industri keramik. Industri dalam negeri sulit bersaing karena harga gas untuk pembuatan keramik cukup tinggi. Kebijakan itu diharapkan meningkatkan pasar.
Para pelaku industri keramik menyambut positif penerapan bea masuk tindakan pengamanan (safeguard) untuk ubin impor. Kebijakan itu diyakini bisa meningkatkan produksi ubin keramik dalam negeri sekitar 20 persen.
Ketua Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Elisa Sinaga di sela kunjungan ke pabrik PT Arwana Citramulia Tbk di Serang, Banten, Selasa (16/10/2018), mengatakan, safeguard diberlakukan sejak 12 Oktober 2018.
Kebijakan itu berlaku tiga tahun. ”Pada tahun pertama, bea yang diberlakukan 23 persen. Bea tahun kedua 21 persen. Pada tahun ketiga, diberlakukan bea 19 persen,” kata Elisa.
Kapasitas terpasang ubin keramik di Indonesia 570 juta meter persegi per tahun. Tahun 2017, produksi riil 350 juta meter persegi. Menurut Elisa, produksi itu diperkirakan tak jauh berbeda pada 2018.
”Dengan ada safeguard, utilitas diperkirakan bisa meningkat jadi 420 juta meter persegi per tahun,” ujar Elisa. Karena itu, para pelaku industri berterima kasih kepada pemerintah atas penerbitan bea masuk itu.
”Tindakan itu amat tepat setidaknya untuk mengendalikan laju impor keramik. Rata-rata peningkatan impor keramik lebih dari 20 persen per tahun pada 2013-2017,” katanya. Pada 2017, jumlah keramik impor mencapai 64 juta meter persegi.
Elisa mengatakan, Asaki menaungi 71 industri. Saat ini, jumlah tenaga kerja yang diserap industri keramik nasional secara langsung 150.000 orang. Sementara jumlah tenaga kerja yang diserap secara tidak langsung mencapai 2 juta orang.
”Secara kapasitas dan kualitas produk keramik, Indonesia sudah mampu memenuhi kebutuhan di dalam negeri,” ucapnya.
Chief Executive Officer PT Arwana Citramulia Tbk Tandean Rustandy mengatakan, persaingan industri keramik sangat ketat. ”Kami sangat berterima kasih, penerapan bea masuk jadi tindakan pengamanan untuk menahan serangan keramik impor,” katanya.
Impor lebih murah
Manajer Pabrik PT Arwana Citramulia Tbk Felix Hibono menuturkan, harga produk keramik impor yang lebih murah menyebabkan industri keramik nasional sulit bersaing. ”Harga bisa lebih rendah hingga 50 persen dibandingkan produk dalam negeri,” katanya.
Perbedaan harga itu disebabkan berbagai hal. Antara lain, harga gas yang cukup tinggi sehingga tidak mendukung daya saing. Felix mengatakan, gas termasuk bahan baku yang dominan dalam pembuatan keramik. Harga gas sangat berpengaruh terhadap biaya produksi keramik, mencapai 23-40 persen.
Harga gas di sejumlah wilayah juga berbeda-beda. Di Jawa misalnya, harga gas 7,98-9,16 dollar AS atau Rp 120.000-Rp 138.000 per juta metrik british thermal unit (MMBTU). Sementara itu, harga gas di Sumatera berkisar 9,3-9,9 dollar atau Rp 140.000-Rp 149.000 per MMBTU.
”Industri keramik membeli gas dengan dollar AS. Kami berharap, kontrak harga gas bisa ditetapkan dalam rupiah,” kata Felix.
Industri keramik juga mengharapkan dukungan pemerintah agar sektor terkait mengutamakan penggunaan produk buatan dalam negeri.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko dalam kunjungan ke pabrik tersebut mengatakan, harapan pemerintah dan dunia usaha sama, yakni agar industri bisa bergerak dengan baik. ”Penerapan safeguard bukan untuk membunuh pesaing, melainkan untuk menghidupkan industri keramik dalam negeri,” ujarnya.
Terkait kendala yang dihadapi industri keramik saat ini berupa harga gas yang cukup tinggi dan berbeda-beda di sejumlah provinsi, Moeldoko berjanji akan menyampaikan persoalan tersebut kepada Presiden Joko Widodo. (BAY)