Mengawal Kebangkitan Kembali Sulteng
Gempa dan tsunami telah membuka mata banyak orang di Sulawesi Tengah. Ada daerah merah yang tidak boleh dijadikan permukiman. Itu sebabnya, membangun kembali tiga wilayah harus perlu perhatian juga kearifan lokal.
Selama hampir tiga pekan setelah bencana gempa-tsunami yang melanda Sulawesi Tengah, bergelombang persoalan muncul. Banyak yang telah terurai dan ditangani, tetapi tak kalah banyak pula yang masih memerlukan perhatian.
Manajemen penanganan korban dan pengungsi makin membaik dibandingkan pada hari-hari awal setelah bencana. Bantuan yang mengalir deras, baik dari dalam maupun luar negeri, terus disalurkan kepada warga di tiga wilayah terparah, yakni Kota Palu, Kabupaten Donggala, dan Kabupaten Sigi.
Kehadiran ribuan tenaga bantuan dan sukarelawan, terutama dari TNI-Polri, pihak swasta, juga organisasi, serta perseorangan yang bahu-membahu sangat membantu percepatan upaya tanggap darurat. Apalagi, mesin pemerintahan daerah turut lumpuh karena banyak pegawainya yang menjadi korban bencana.
Sebagian besar infrastruktur listrik dan telekomunikasi pun sudah dipulihkan. Meski begitu, air bersih masih menjadi persoalan karena kerusakan jaringan PDAM Kota Palu. Hal ini diperparah dengan banyak sumur warga yang mengering setelah gempa.
Evakuasi korban pada masa tanggap darurat tahap pertama telah resmi dihentikan per 12 Oktober. Lokasi-lokasi yang terdampak parah dan diduga masih banyak korban tertimbun, seperti di Petobo dan Balaroa di Palu serta Jono Oge di Sigi, akan dijadikan ruang terbuka hijau karena dianggap tak layak lagi sebagai hunian.
Namun, jika ada laporan penemuan jenazah, Basarnas siap melakukan evakuasi lagi. Hingga awal pekan ketiga setelah bencana, data dari Komando Tugas Gabungan Paduan menyebutkan, korban tewas yang dievakuasi 2.100 orang, korban hilang 680 orang, dan korban tertimbun sebanyak 152 orang.
Kini, penanganan bencana memasuki perpanjangan masa tanggap darurat yang ditetapkan hingga 26 Oktober. Selain penanganan pengungsi sekitar 78.994 jiwa, pemerintah pun menyiapkan rencana pembangunan hunian sementara bagi warga yang kehilangan tempat tinggal. Sejauh ini, jumlah rumah rusak akibat bencana itu terdata sebanyak 68.451 unit.
Hunian sementara disiapkan bagi para korban untuk menunggu pembangunan rumah permanen dalam tahap rehabilitasi dan rekonstruksi nanti. Wakil Presiden Jusuf Kalla menargetkan rehabilitasi dan rekonstruksi harus selesai dalam waktu dua tahun (Kompas, 13/10/2018).
Pada fase ini, pendataan menjadi kunci penting. Pemerintah harus memastikan semua korban yang kehilangan rumah ataupun yang rumahnya tak layak dan tak aman lagi ditempati terdata. Penentuan lokasi hunian sementara pun menjadi krusial agar warga dapat merasa aman dan nyaman selama menunggu rekonstruksi rampung.
Salah satunya adalah memastikan lokasi hunian sementara, termasuk lokasi permukiman baru nanti, aman dari risiko bencana serupa. Sejumlah pihak pun telah mengutarakan agar daerah di pesisir Teluk Palu, yang diterjang tsunami pada 28 September lalu tidak dibangun lagi untuk permukiman.
Pembangunan hunian sementara ditargetkan rampung dalam dua bulan. Itu dilengkapi sekolah darurat, layanan kesehatan, sarana ibadah, aula, fasilitas air bersih, penerangan jalan kawasan, dan ruang terbuka hijau.
Memasuki tahap rehabilitasi dan rekonstruksi (setelah tanggap darurat), M Nawir, Arsitek Komunitas (Arkom) berharap pemerintah daerah mengadaptasi berbagai model penataan permukiman dari sejumlah pihak. Nawir yang telah berpengalaman mendampingi warga korban gempa dan tsunami di Aceh dan Lombok menekankan perlunya pelibatan masyarakat dalam pembangunan hunian sementara. Menurut dia, tidak perlu penyeragaman bangunan. Sangat penting memperhatikan karakteristik sosial-budaya warga, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pengurangan risiko bencana.
Di sisi lain, Gubernur Sulteng Longki Djanggola meminta agar pembangunan hunian sementara menggunakan satu model, tidak berbeda-beda. Hunian itu dibangun sesuai gambar yang dibuat Satgas Infrastruktur.
Ichsan Loulembah, anggota MPR-DPD 2004-2009 mewakili Sulteng, mengusulkan pembentukan kelembagaan seperti Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) yang menangani pemulihan Aceh setelah bencana 2004. Sebab, ia menilai skala kerusakan dan luasnya dampak bencana Sulteng ini tidak mampu ditangani pemerintah kabupaten/kota dan provinsi. Bahkan, pemerintah pusat pun harus membuka diri pada kerja sama internasional.
Mengingat pluralitas daerah Sulteng, khususnya ibu kota Palu yang menjadi melting pot, Ichsan menambahkan, perlu juga memasukkan pendekatan sosial-budaya dalam relokasi dan perubahan tata ruang. Hal itu agar rencana pemulihan dan pembangunan kembali tidak seperti dalam ruang hampa sosial.
Sudah saatnya menghidupkan ideologi pembangunan baru, yakni ”membangun nir-bencana”. Semua kebijakan, termasuk upaya memasukkan investasi, harus merujuk pada nir-bencana dan berkelanjutan. ”Jangan hanya karena investor cerewet minta lokasi, pemda membolehkan, padahal rawan bencana,” ujarnya.
Waspadai likuefaksi
Di pedalaman, potensi kerawanan yang harus menjadi perhatian adalah likuefaksi. Hancurnya areal permukiman ratusan hektar di Balaroa, Petobo, dan Jono Oge mesti menjadi pembelajaran berharga dalam penataan ruang setelah bencana.
Dalam diskusi tentang sesar Palu-Koro yang digelar Aliansi Jurnalis Independen Kota Palu di Palu, Kamis (11/10/2018), hal itu menjadi salah satu sorotan. Diskusi menghadirkan pembicara Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Sukmandaru Prihatmoko, Ketua Tim Ekspedisi Palu-Koro Trinirmalaningrum, arkeolog sekaligus Wakil Kepala Museum Daerah Sulteng Iksam, dan peneliti tsunami dari BPPT Widjo Kongko.
Sukmandaru menjelaskan, berdasarkan perhitungan terbaru, pergerakan sesar itu telah meningkat dari 4 sentimeter menjadi 5 sentimeter per tahun. Artinya, sesar itu lebih aktif.
Karena itu, perubahan tata ruang kota diperlukan untuk menyesuaikan dengan kondisi itu. Salah satunya adalah melakukan kajian mendalam untuk wilayah yang rawan likuefaksi.
Iksam mengungkapkan, kearifan nenek moyang suku Kaili yang telah hidup selama ribuan tahun di Lembah Palu dan akrab dengan bencana gempa-tsunami-likuefaksi dapat menjadi rujukan bagi generasi saat ini. Salah satunya adalah tidak membangun permukiman di lahan bekas rawa atau sungai yang mengering.
Ia pun mengingat, permukiman di Balaroa dan Petobo yang terkena dampak likuefaksi baru mulai muncul pada sekitar tahun 1980. Kedua daerah itu sebelumnya adalah rawa. Sebagian Balaroa sebenarnya sudah dihuni sejak lama, tapi di bagian atas bukit yang tak terdampak likuefaksi.
Iksam berharap, daerah-daerah yang memiliki karakteristik lahan seperti Balaroa, Petobo, dan Jono Oge tak dibangun permukiman lagi. Dia melihat ada daerah seperti itu di Sigi yang kini mulai ditumbuhi rumah penduduk. Maka, perlu direkomendasikan ke pemerintah setempat agar tidak dibangun lagi.
Pemerintah pusat pun telah menyatakan akan merelokasi semua permukiman dan fasilitas umum terdampak gempa, tsunami, dan likuefaksi di Kota Palu ke kawasan yang lebih aman. Dana yang disiapkan untuk membangun Palu Baru itu hingga Rp 6 triliun (Kompas, 16/10).
Saat ini pemerintah tengah menyusun rencana induk Palu Baru yang ditargetkan selesai paling lambat akhir tahun ini. Tiga alternatif daerah relokasi masih diselidiki geologinya. (ENG/LAM)