Gempa dan tsunami yang meluluhlantakkan Palu sudah terjadi lebih dari dua pekan. Kisah pahit itu begitu sulit dilupakan Yuni Lestari (15), siswa kelas IX SMP Negeri 21 Kota Palu. Selasa (16/10/2018), dia masih saja murung saat berada di halaman sekolahnya. Dia duduk bersila di bawah pohon jambu. Tangannya menopang dagu. Sesekali, dia menyeka air mata yang sulit dibendungnya.
”Kakak dan keponakan aku sampai sekarang belum ditemukan,” ujar Yuni.
Rekaman bencana dahsyat yang melanda rumahnya di Petobo, Kecamatan Palu Selatan, tampak masih sulit disingkirkan. Wajah saudara-saudaranya yang hilang kerap hadir dalam mimpi. Datang ke sekolah menjadi obat penawar di antara sedih yang masih mendera.
Seperti banyak siswa lain, Yuni datang tanpa seragam. Baju seragamnya hilang entah ke mana. Tidak ada buku juga yang dibawa. Likuefaksi telah menelan harta bendanya.
”Ini baju sumbangan orang, tetapi pas di badan aku,” katanya sambil memperlihatkan kemeja yang dipakai pada hari kedua masuk sekolah.
”Pantas saja, sebelumnya aku tidak pernah lihat kau pakai baju itu,” kata seorang rekannya mencoba mencairkan suasana sekaligus mengundang tawa.
”Karena itu, saya sangat berterima kasih jika ada yang mau menyumbang seragam, sepatu, tas, alat tulis, dan buku pelajaran. Semoga dengan sekolah bisa menghilangkan trauma,” kata Yuni yang hingga kini masih tinggal di pengungsian Petobo.
Pelajaran bencana
Di SMP Negeri 3 Palu harapan serupa juga terus dijaga. Guru dan siswa memelihara harapan di tengah kondisi yang serba terbatas. Selasa pagi, hanya beberapa siswa mengenakan celana biru-baju putih lengkap dengan rompi biru. Sebagian lagi hanya memakai kaus atau jaket hitam. Mereka duduk bersila di atas lapangan semen berbagi cerita demi menenangkan jiwa.
SMP Negeri 3 punya murid terbanyak di Palu. Jumlah siswa sebelum bencana tercatat 1.325 murid. Namun, tidak lebih dari 100 orang yang masuk sekolah. Sebagian diduga masih berada di pengungsian atau mungkin meninggal dunia.
Kepala Sekolah SMP Negeri 3 Palu Wiji Slamat meminta mereka maju satu per satu untuk berbagi cerita tentang bencana. Karena tak ada satu pun yang berani maju, Slamat memulai ceritanya.
”Bapak saat itu ada di rumah, tiba-tiba saja semua bergoyang. Barang-barang di rumah jatuh, lalu bapak lari keluar rumah. Untung saja tembok yang jatuh tidak menimpa bapak, keluarga juga selamat,” cerita Wiji.
Kisah itu mengalir bukan tanpa maksud. Di ujung kisah, ia memberi motivasi untuk tangguh hidup bersama bencana.
”Semua orang yang ada di sekolah ini merasakan bencana itu, bapak takut, guru yang lain juga. Tetapi mau sampai kapan sedih terus. Kita harus terus berjalan lebih jauh,” katanya.
Seusai bercerita, Wiji kembali menawarkan kesempatan bercerita ke anak muridnya. Namun, semuanya diam. Beberapa menundukkan kepalanya.
Hingga akhirnya, Wiji meminta Oktavianto (15), yang kebetulan pagi itu tidak mengenakan seragam, untuk maju ke depan dan menceritakan pengalamannya. Oktavianto adalah murid kelas IX yang tinggal di daerah dekat Perumnas Balaroa, Palu Barat, Kota Palu.
Dengan malu-malu, Anto memberanikan diri maju. Tangannya dikepal, seperti menguatkan mental. Namun, tetap saja suaranya sulit keluar lantang.
”Saya...,” belum selesai kata-kata itu keluar, Wiji meminta agar Anto mengeraskan lagi suaranya.
Dengan suara lebih kencang, ia pun bercerita, ”Saya takut. Lantai rumah saya bergerak, saya dengar bunyi keras sekali. Saya dengar teriakan ayah saya, lari-lari. Makanya, saya secepat mungkin lari,” ungkapnya.
”Saya lari, tetapi jatuh terus, saya sempat berguling di aspal yang sudah tak jelas lagi bentuknya. Habis itu sampai di ujung gang, saya berhenti. Saat lihat ke belakang, rumah-rumah sudah hancur,” katanya.
Anto sempat tak ingin melanjutkan ceritanya. Wajahnya datar, sedikit pucat. Dia lama terdiam sebelum kembali bersuara. ”Yang penting keluarga saya selamat semua. Untung saja,” ujarnya.
Tempat terbaik
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sulteng Irwan Lahace mengatakan, sekolah menjadi tempat tepat memulihkan diri. Peran guru dan teman-teman sebaya berpotensi menenangkan jiwa yang dilanda trauma. Oleh karena itu, ia berharap banyak pihak terus membantu kegiatan belajar-mengajar terus berlangsung.
Akan tetapi, Irwan mengatakan, keinginan itu belum terwujud sempurna. Selain masih tanpa seragam dan buku pelajaran, hingga hari kedua masuk sekolah, tenda darurat bagi ratusan sekolah terdampak bencana belum tersedia. Dari sekitar 1.000 tenda yang dibutuhkan, baru 20 unit yang datang dan dipasang. Akibatnya, banyak sekolah masih belajar di lapangan. Ada juga yang nekat belajar di ruang kelas yang rusak.
”Banyak pihak yang berkomitmen membantu memberi tenda. Semoga janji itu cepat direalisasikan,” ujar Irwan.
Hari semakin siang saat tawa dan canda mulai mengganti rupa wajah muram Yuni. Kehadiran tiga sahabat terbaik, Ratna Handayani (15), Wulan Lestari (15), dan Muhammad Anggi, jadi obat sempurna. Saling berbagi pengalaman dengan teman sebaya terbukti manjur bagi Yuni. ”(Kita) Tidak boleh bersedih terus. Kita harus bangkit lagi,” ujar Ratna kepada Yuni.
Ratna bukan tanpa duka. Warga Petobo ini menyaksikan tanah seperti lautan menghanyutkan permukiman dan pepohonan. Bahkan, rumah Ratna pun kini tak jelas lagi di mana, hancur dimakan bumi.
Beberapa orang terdekatnya juga masih tanpa kabar. Adik kandung, tiga kakak sepupu, dan satu keponakan entah ada di mana. Namun, Ratna yakin semuanya adalah jalan Ilahi. Dia ikhlas dengan apa yang terjadi.
Seperti disengat ucapan Ratna, Yuni berusaha keras tegar. Di usia belia, ia mulai belajar ikhlas. Dia mengatakan, mungkin ada sisi baik dari Tuhan yang membiarkannya tetap hidup.
”Kesempatan ini akan digunakan sebaik-baiknya untuk menjadi manusia yang baik. Saya ingin menjadi guru agar bisa mengajak banyak orang terus waspada menghadapi bencana kelak,” kata Yuni.