JAMBI, KOMPAS — Pemerintah perlu lebih serius mengantisipasi beredarnya ujaran kebencian di media sosial. Politik identitas yang menguat belakangan ini jangan menjadi pangkal pemecah di masyarakat.
Demikian terangkum dalam diskusi bertajuk ”Jurnalisme dan Politik Identitas” yang diselenggarakan Kajanglako.com bertempat di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Nurdin Hamzah, Jambi, Selasa (16/10/2018).
Hadir sebagai narasumber, Hariqo Wibawa Satria, Direktur Eksekutif Komunikonten, jurnalis harian Kompas Irma Tambunan, akademisi Universitas Islam Negeri Sultan Thaha Syaifudin (UIN STS) MH Abid, dan Ketua Aliansi Jurnalis Indonesia Jambi Ramond Epu.
Menurut Hariqo, dibandingkan negara-negara di Eropa, Indonesia tertinggal dalam hal membatasi penggunaan media sosial karena tak kunjung mengeluarkan produk hukumnya. ”Di Eropa, usia 16 tahun (seseorang) baru bisa bermedsos,” katanya.
Ia menilai belum ada perhatian serius menangani akun anonim serta melawan hoaks, misalnya dengan membangun sistem verifikasi. Dalam bermedia sosial, setiap individu juga bebas menyebarkan berita bohong. ”Tidak ada peringatan untuk tidak mengirim berita hoaks lewat media sosial,” katanya.
Irma menambahkan, menjelang Pemilihan Presiden 2019, di media sosial tampak jelas bahwa publik seolah terbelah menjadi dua kelompok arus kuat, yakni antara kelompok pro Jokowi-Maruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno yang kemudian menyebut diri Kecebong dan Kampret. Hal itu terkait menguatnya politik identitas dalam tiga tahun terakhir. Politik yang berlatar belakang kesamaan ras, etnis, ataupun agama itu kerap memunculkan ujaran-ujaran kebencian dan hoaks.
Kondisi masyarakat yang plural di Jambi berpotensi dieksploitasi untuk kepentingan politik identitas. Menurut Abid, keberadaan media massa yang terbilang banyak di Jambi, lebih dari 100 usaha media massa, baik cetak maupun daring, diharapkan bisa menjadi rujukan informasi yang benar. Masalahnya, media-media yang ada sering kali terjerat pada kontrak iklan dan faktor kedekatan personal sehingga kerap menempatkan diri tidak lagi obyektif.
Untuk itu, Ramond mengingatkan media perlu berperan yang benar memberi informasi akurat serta memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Media bisa menjadi alat kontrol sosial dengan senantiasa memegang teguh kode etik.
Isu populis dan bisnis klik yang marak belakangan di satu sisi membawa keuntungan, tetapi di sisi lain berdampak pula pada menurunnya idealisme jurnalis. Media yang terikut dalam bayang-bayang hoaks tak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga masa depan media itu sendiri.
Editor Kajanglako.com Jumardi Putra mengatakan, meski pemilihan presiden baru akan dilaksanakan April 2019, tensi ritus politik lima tahunan ini terus memanas. Politik identitas pun menggejala, ”Pertanyaannya kemudian, apakah menentukan pilihan politik berdasarkan kesamaan agama, ras, atau jenis kelamin, itu salah?” ujarnya.
Menurut dia, tentu tidak salah apabila disertai cara yang menjunjung tinggi rasionalitas, data dan argumentasi, serta kesadaran kultural yang menjadikan ajang pemilihan sebagai ruang publik yang mencerahkan dan mendewasakan. Bukan sebaliknya, menyebarluaskan berita bohong, memperluas episentrum kebencian, bahkan membangun ketidapercayaan antarsesama warga, yang ujungnya bisa memicu konflik horizontal.
Peran media massa, baik cetak maupun online, diharapkan memberikan kesempatan kepada masyarakat agar lebih cermat membaca dan memaknai dinamika kontestasi pilpres, utamanya berkaitan politik identitas. Media didorong melalui serangkaian kerja-kerja jurnalistik untuk menjalankan independensi dan etika jurnalistik. Nilai independensi dalam hal ini bukan hanya berguna bagi jurnalis sendiri, melainkan juga prinsip utama yang membuat profesi ini dipercaya oleh publik.