MAKASSAR, KOMPAS - Penyidik Polrestabes Makassar, Sulawesi Selatan, terus mendalami kasus pemerkosaan terhadap seorang anak pengungsi korban gempa- tsunami asal Palu, Sulteng. Polisi dan tim perlindungan perempuan serta anak cukup berhati-hati karena pelaku dan korban masih di bawah umur.
”Kami menangani kasus ini secara profesional berdasarkan aturan undang-undang. Kami memberikan atensi yang tinggi mengingat keadaan korban dan keluarganya. Namun, kami juga melibatkan pihak terkait, seperti pemerhati dan ahli masalah anak, karena ini terkait anak,” kata Waka Polrestabes Makassar Ajun Komisaris Besar Hotman Sirait, Rabu (17/10/2018), di Makassar.
Kasus ini terjadi pada Selasa (16/10) di Perumahan Bumi Permata Sudiang. Pelaku adalah MI (14), warga setempat. Korban, S (7), adalah pengungsi asal Palu yang datang ke Makassar bersama kedua orangtuanya pascagempa. Saat kejadian, orangtuanya sedang kembali ke Palu melihat rumah dan menitipkan anaknya pada keluarga.
”Berdasarkan keterangan yang kami peroleh, siang itu sekitar pukul 14.00 Wita, korban bersama sepupunya, B, sedang berada di luar rumah. Saat itulah pelaku datang. Dia menyuruh B pulang, sementara dia membawa korban ke sebuah rumah kosong. Di situ pelaku melakukan aksinya dengan pemaksaan,” kata Kepala Subbagian Humas Polrestabes Makassar Ajun Komisaris Diaritz Felle.
Tersangka kemudian membawa korban pulang. Saat tiba di rumah pamannya, korban langsung mendatangi pamannya dan menangis. Dia menceritakan apa yang baru saja dialami. Warga yang mendengar hal ini langsung mengejar pelaku dan menghajarnya beramai-ramai. Pelaku dibawa ke Polsek Biringkanaya.
”Korban sudah kami bawa ke RS Bhayangkara untuk pemeriksaan dan visum. Tersangka sudah kami tahan dan dimintai keterangan. Korban dalam pengawasan serta perawatan tim perlindungan perempuan dan anak Kota Makassar. Kami juga ikut mendampingi,” kata Diaritz.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Kota Makassar A Tenri Palallo mengatakan, kasus ini cukup pelik karena korban dan pelaku sama-sama di bawah umur. Pelaku bahkan tidak memiliki keterangan kependudukan. Kedua orangtuanya tidak jelas keberadaannya. Dia hanya diasuh oleh neneknya.
Pemulihan
Pendampingan anak-anak penyintas bencana harus terus menjadi prioritas selama mereka berada di pengungsian. Perhatian terhadap anak-anak mudah terlupakan di antara padatnya aktivitas orangtua mereka saat mengungsi.
”Anak-anak tetap menjadi prioritas utama. Selalu ada kegiatan lewat beragam permainan atau pendidikan yang diberikan di sini setiap hari. Tujuannya agar mereka merasa tak dibiarkan sendirian saat orangtuanya masih kesulitan hidup di pengungsian. Potensi perilaku menyimpang bisa terjadi jika mereka dibiarkan sendiri,” kata Anyo, sukarelawan dari Divisi Rescue dan Trauma Healing Komunitas Relawan Independen, di posko pengungsian Balaroa, Kota Palu, Rabu.
Di posko pengungsian Balaroa, beragam kegiatan pendampingan anak-anak dibuat sepadat mungkin. Saat banyak kegiatan yang dilakukan, perhatian anak-anak untuk melakukan beragam sikap menyimpang, seperti berkelahi atau melakukan hal lain, bisa ditekan. Dalam sehari, ada dua sesi kegiatan yang dikhususkan untuk anak-anak. (REN/CHE)