SURABAYA, KOMPAS — Balai Bahasa Jawa Timur telah menyerahkan Anugerah Sutasoma kepada tujuh penerima apresiasi. Anugerah Sutasoma merupakan penghargaan kepada pegiat sastra untuk turut mendorong peningkatan literasi masyarakat.
Para penerima Anugerah Sutasoma ialah Rabo Sore untuk kategori Komunitas Sastra, Suwignyo Adi atau Titiek SA untuk kategori Sastrawan Berdedikasi, Muhammad Iqbal Baraas untuk kategori Karya Sastra Indonesia Terbaik lewat antologi Mawar Gandrung, Nono Warnono untuk kategori Karya Sastra Daerah Terbaik lewat antologi Kidung Langit, Lilik Rosida Irmawati—guru SD Negeri Pabian 1, Kecamatan Kota Sumenep—untuk kategori Guru Bahasa dan Sastra Indonesia Berdedikasi, dan Akhmad Taufiq untuk kategori Esai atau Kritik Sastra Terbaik lewat buku Sastra Multikultural: Konstruksi Identitas dan Praktik Diskursif Negara dalam Perkembangan Sastra Indonesia.
Ketua Panitia Anugerah Sutasoma Yulitin Sungkowati saat dihubungi pada Jumat (19/10/2018) di Surabaya mengatakan, penghargaan diberikan dalam sebuah acara di Gedung Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur, Rabu (17/10/2018) malam.
Penghargaan diharapkan memelihara gairah pegiat sastra untuk terus berkarya dan mendorong masyarakat mencintai karya-karya sastra Nusantara. Sastra sebagai bagian dari kebudayaan harus kokoh berdiri dan semoga tetap menjadi bagian kehidupan masyarakat.
Keterbacaan masyarakat yang diberitakan masih rendah, lanjut Yulitin, patut menggugah para pegiat sastra. Masyarakat dengan literasi yang rendah akan menyulitkan kehidupan mereka sendiri. Sastra bukan konsepsi filosofis, melainkan nyata dan merupakan kebutuhan.
Secara khusus, Yulitin memberikan catatan positif kepada keberhasilan komunitas Rabo Sore yang merupakan kelompok mahasiswa pegiat sastra. Amat diharapkan, komunitas seperti ini menjadi pelita sekaligus sumber api yang membakar gairah masyarakat untuk mencintai lalu terlibat aktif dalam membuat karya-karya sastra.
”Untuk anugerah tahun depan, kami berencana menambah kategori, yakni sastrawan muda berbakat, sastra anak, dan penerbit karya sastra,” kata Yulitin.
Ketua Rabo Sore Hembing Kriswanto menyampaikan rasa syukur atas penghargaan Sutasoma kepada komunitas yang mereka bangun sejak 2003 itu. Komunitas ini bukan organisasi intrakampus meski digagas oleh akademisi Universitas Negeri Surabaya.
”Komunitas sastra penting bagi generasi muda untuk melihat kehidupan dari sudut pandang yang beragam,” kata Hembing. Dalam komunitaslah, diskusi dan kritik dibangun dan dipelihara secara positif agar dalam berkarya mengetahui kelebihan dan kekurangan serta mendorong peningkatan literasi.
Semangat untuk literasi juga dikawal oleh Lilik yang menurut dewan juri Anugerah Sutasoma 2018 bersemangat dalam membangun dan memelihara minat baca masyarakat. Di Sumenep, Lilik mendirikan Rumah Literasi Sumenep yang sudah berjalan dua tahun.
Kepala Balai Bahasa Jawa Timur Mustakim mengatakan, Anugerah Sutasoma diberikan sebagai bentuk apresiasi kepada para sastrawan, pegiat sastra, serta akademisi bidang sastra di Jawa Timur. Anugerah Sutasoma yang digelar semenjak tahun 2009 itu memberikan penghargaan di tujuh kategori dan para pemenang mendapatkan piagam penghargaan serta uang pembinaan.
”Para penerima Anugerah Sutasoma adalah komunitas sastra, guru Bahasa dan Sastra Indonesia, guru Bahasa dan Sastra Daerah, pegiat sastra, sastrawan, dan akademisi bidang sastra. Panitia dan dewan juri secara aktif telah mengamati, mencari, menerima usulan dari segenap lapisan masyarakat,” kata Mustakim.
Dalam orasi budaya, Akhmad Taufiq menyatakan, Jawa Timur memiliki kekayaan tradisi sastra yang luar biasa di kantong-kantong budaya, antara lain Madura yang kaya akan penyair, daerah pesisir utara, Mataraman, Arek, dan Pendalungan.
”Tentu saja tradisi kreatif ini perlu dirawat dan dikelola baik pertumbuhan dan keberlangsungannya,” ujar Akhmad, Kepala Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu Universitas Jember. Masih dibutuhkan agenda sastra yang dapat mempertemukan para sastrawan untuk meningkatkan kapasitas kreativitas yang salah satunya Anugerah Sutasoma.
Terkait dengan anugerah yang diterimanya, Akhmad sempat tidak menduga buku karyanya bakal dipilih dewan juri sebagai buku terbaik kategori esai/kritik sastra. Bukunya membahas konstruksi identitas dan praktik diskursif negara. ”Obyek kajiannya adalah novel Indonesia dalam rentang 1920 sampai 2000,” ujarnya.