Upah Buruh Rendah di DIY Bisa Mempertajam Kesenjangan
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Buruh masih jauh dari kesejahteraan. Biaya kebutuhan hidup layak yang tak sebanding dengan upah minimum mereka dapatkan. Rencana kenaikan upah minimum yang hanya sebesar 8,03 persen dinilai tak cukup signifikan bagi peningkatan kesejahteraan. Upah buruh yang terlalu rendah bisa meningkatkan indeks gini yang berarti kesenjangan makin tajam.
Pada 2018, menurut survei tentang kebutuhan hidup layak (KHL) oleh Front Perjuangan Pemuda Indonesia dan Asosiasi Buruh Yogyakarta, biaya KHL dari Kota Yogyakarta Rp 2,9 juta, Kabupaten Sleman Rp 2,85 juta, Kabupaten Bantul Rp 2,74 juta, Kabupaten Kulon Progo Rp 2,58 juta, dan Kabupaten Gunung Kidul Rp 2,44 juta.
Sementara itu, upah minimum kabupaten/kota (UMK) di seluruh DIY masih rendah. Tahun ini, UMK Kota Yogyakarta Rp 1.709.150, Kabupaten Sleman Rp 1.574.550, Kabupaten Bantul Rp 1.572.150, Kabupaten Kulon Progo Rp 1.493.250, dan Kabupaten Gunung Kidul Rp 1.454.200.
”Upah tersebut sangat tidak bisa digunakan untuk kehidupan yang layak,” kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Buruh Yogyakarta Kinardi, Jumat (19/10/2018).
Kinardi menambahkan, yang kerap tak dipikirkan dalam penentuan upah minimum itu beban atau tanggungan dan berapa banyak sumber pendapatan dari buruh tersebut. Sebab, ada buruh yang hanya mengandalkan upah dari satu jenis pekerjaan.
”Upah itu untuk membiayai kebutuhan pribadinya, kehidupan sekolah anaknya, dan lain-lain. Ini yang sering tidak dilihat. Upah mereka yang kecil itu jadi dasar untuk membiayai kehidupan mereka,” kata Kinardi.
Kementerian Tenaga Kerja menetapkan upah minimum provinsi (UMP) naik sebesar 8,03 persen pada 2019. Penetapan kenaikan itu tertulis dalam surat edaran Menteri Tenaga Kerja yang dikeluarkan pada 16 Oktober 2018.
Sekretaris Daerah DIY Gatot Saptadi mengatakan, peningkatan upah minimum itu sedang dalam pembahasan pemerintah. ”Ini masih dalam proses. Dewan Pengupahan DIY akan kami ajak berbicara. Indikatornya adalah inflasi dan PDRB (produk domestik regional bruto),” katanya.
Gatot menambahkan, dirinya akan memanggil pihak-pihak terkait untuk menentukan besaran peningkatan upah minimum provinsi nanti. Hal itu bertujuan agar nilai upah yang ditentukan itu disepakati dan tidak merugikan pihak mana pun.
”Para pihak itu ada buruh, pengusaha, dan pemerintah. Kami akan duduk bersama. Artinya, masing-masing jangan ada yang sampai merasa dirugikan. Besarannya berapa nanti kami lihat dari dinamika dan diskusi yang ada,” katanya.
Gatot mengakui, saat ini UMP DIY masih menjadi yang paling rendah. Bahkan, jika dihitung sesuai dengan aturan yang berlaku, nilai UMP DIY baru mencapai Rp 1.570.922.
Kinardi menilai, peningkatan upah minimum yang besarnya hanya 8,03 persen itu terlalu kecil. Kenaikan itu tidak berdampak signifikan bagi kehidupan buruh.
”Bagi kami, setidaknya peningkatan itu 20-30 persen,” katanya.
Kinardi menambahkan, yang justru mungkin terjadi adalah peningkatan indeks gini yang menandakan kesenjangan semakin terjadi di DIY. Pada 2018, DIY menjadi daerah dengan indeks gini tertinggi, yaitu 0,441.
Hal itu disebabkan adanya pertumbuhan ekonomi yang pesat di sektor-sektor tertentu saja. Misalnya, pada triwulan-I 2018 pertumbuhan sektor penyediaan akomodasi dan makan-minum tertinggi ketiga dengan persentase 6,52 persen.
”Keuntungan dari usaha yang ada di Yogyakarta itu hanya dinikmati oleh segelintir orang. Ada sektor yang tumbuh sangat pesat dan ada yang tidak,” katanya.
Kinardi menyarankan Pemda DIY untuk menentukan upah minimum itu dengan melihat dari upah minimum sektoral yang selama ini belum pernah ditetapkan. Hal tersebut dapat membantu peningkatan UMP DIY karena memang daerah ini memiliki kekuatan pertumbuhan ekonomi di sektor tertentu.