BALIKPAPAN, KOMPAS — Beberapa lembaga swadaya masyarakat lingkungan di Kalimantan Timur mengutarakan ketidakpuasan terkait dengan penyusunan rencana peraturan daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang dianggap tidak pro lingkungan, bahkan tidak melibatkan nelayan. Mereka mendesak pembahasan berkaitan dengan raperda itu dihentikan sementara.
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) ini adalah juga amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Banyak provinsi belum merampungkan RZWP3K, termasuk Kaltim.
Beberapa LSM lingkungan di Kaltim, yakni Jaringan Advokat Lingkungan (JAL), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kaltim, dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, menyoal pembahasan raperda RZWP3K yang dianggap terburu-buru dan juga malah terlihat pro ke arah industri yang mengeruk sumber daya alam (SDA).
”Penyusunan RZWP3K ini tidak melibatkan pihak-pihak yang peduli lingkungan. Tidak ada juga perwakilan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir. Secara garis besar, kami melihat RZWP3K ini akan pro industri di pesisir,” kata Fathul Huda, Ketua JAL, Minggu (21/10/2018).
Tahapan penyusunan rencana zonasi tersebut saat ini baru pada konsultasi teknis di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Jakarta. Fathul menyebut, dirinya dan para pegiat lingkungan menyoal beberapa persoalan terkait penyusunan raperda tersebut.
”Pertama, mayoritas pesisir Kaltim terhubung karst yang kaya sumber air tawar, tetapi sudah direbut konsesi industri tambang, pabrik semen, hutan tanaman industri, sawit, dan pelabuhan terminal khusus,” kata Fathul.
Persoalan lainnya adalah nelayan di pesisir diabaikan haknya untuk menentukan zonasi tangkap. Menurut Fathul, setidaknya sudah empat kasus terjadi selama setahun terakhir berkaitan dengan rusak dan tercemarnya wilayah tangkapan nelayan di Berau, Balikpapan, Kutai Kartanegara, dan Penajam Paser Utara.
”Lalu, reklamasi pantai Balikpapan terkait megaproyek coastal road yang diizinkan. Proyek ini merusak lingkungan, biota laut, juga bakal menggusur nelayan. Kemudian, karut-marut tata kelola di Teluk Balikpapan. Ratusan hektar mangrove, padang lamun, dan satwa endemik, terancam aktivitas industri,” katanya.
Atas pertimbangan itu, Fathul mendesak pembahasan RZWP3K dihentikan. Setidaknya hingga sejumlah izin usaha pertambangan di kawasan lindung karst (Sangkuliran-Mangkalihat) dan kawasan konservasi pesisir di Biduk-biduk dan Derawan (Berau) dicabut.
Secara terpisah, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kaltim Nur Sigit mengapreasi masukan dari LSM-LSM lingkungan itu. Namun, ia juga balik mengkritik karena mereka terburu-buru menilai dan tidak memberikan solusi.
”Pembahasan ini masih sangat panjang. Ini masih tahap awal. Pada 30 (Oktober) nanti diagendakan konsultasi publik tentang RZWP3K. Silakan teman-teman dari LSM lingkungan hadir, memberikan masukan dan solusi. Kita duduk bareng, membahas bareng apa yang terbaik untuk Kaltim,” kata Sigit.
Sigit menyampaikan, semua yang dilakukan Pemprov Kaltim diawasi pemerintah pusat. Artinya, Pemprov Kaltim tentu tidak gegabah. Pembahasan RZWP3K juga dengan melibatkan banyak pakar. Karena itu, tidak tepat, jika pihaknya langsung dituding tidak memperhatikan lingkungan dan nelayan.