JAMBI, KOMPAS — Masyarakat di wilayah gambut Provinsi Jambi menunggu kepastian pemerintah soal pengelolaan gambut berkelanjutan. Hampir dua tahun mengusulkan rencana kelola hutan desa gambut, masyarakat tak kunjung mendapatkan kepastian hukum.
Padahal, masyarakat Desa Pematang Rahim, Kecamatan Mendahara Ulu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, sudah menyusun berbagai rencana pengelolaan hutan desa. Mereka pun telah menyediakan perangkat untuk mendukung pemanfaatan kawasan tersebut, bahkan sudah membentuk Lembaga Pengelola Hutan Desa dan Masyarakat Peduli Api. Mereka menjaga hutan lindung gambut itu dari ancaman kerusakan, termasuk bersemangat membangun ekowisatanya.
Namun, seluruh rencana dan program kerja belum dapat berjalan. Sebab, hak kelola hutan desa yang sudah diusulkan masyarakat pada Januari 2017 tak kunjung dilegalisasi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa Pematang Rahim Suryani mengatakan, pada awalnya kementerian sangat responsif mendorong masuknya usulan masyarakat. Tim verifikasi pun diterjunkan ke lokasi hutan itu, Juni 2017.
Seluruh permohonan dinyatakan dapat diterima. Areal yang dimohonkan sudah masuk ke dalam Peta Indikatif Arahan Perhutanan Sosial (PIAPS) dan Lembaga Pengelola Hutan Desa dan Masyarakat. Artinya, semua telah memenuhi syarat.
Namun, masyarakat belum juga menerima surat keputusan penetapan hutan desa itu. ”Kami bingung perencanaan yang disusun tidak bisa dilaksanakan,” kata Suryani, Minggu (21/10/2018).
Hutan Lindung Gambut Sungai Buluh yang berada di desa itu diajukan untuk dikelola dengan skema hutan desa seluas 1.185 hektar. Pengelolaan hutan desa itu diharapkan memberikan manfaat bagi warga. Gambut dijaga dari ancaman kebakaran. Kawasan hutan Pematang Rahim memegang peranan penting dalam perlindungan ekosistem gambut karena menyimpan cadangan karbon yang besar. Dari survei September 2018, potensi karbon di hutan desa ini 76 ton per hektar pada tegakan pohon. Rawa gambutnya menyimpan 1.824 ton karbon per hektar.
Selain potensi karbon, hutan lindung itu didorong untuk ekowisata. Masyarakat berencana membangun rumah pohon dan membuka paket wisata susur kanal jelajah hutan.
Wakil Direktur Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, Adi Junedi, yang mendampingi masyarakat, menyebut ada tumpang tindih antara Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB) dan PIAPS. Dalam kedua peta, wilayah hutan desa itu tumpang tindih.
Jika masalah ini tidak segera ditangani, pelaksanaan perhutanan sosial terhambat. ”Padahal, perhutanan sosial merupakan program pemerintah untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan hutan,” katanya.
Di Provinsi Jambi terdapat 25 persen areal yang tumpang tindih antara moratorium gambut dan rencana perhutanan sosial. PIAPS akan teranulir oleh PIPIB. Kawasan hutan dan gambut yang masuk peta moratorium seluas 1 juta hektar, sedangkan kawasan yang ditetapkan untuk perhutanan sosial 229.321 hektar. Luas areal yang tumpang tindih mencapai 55.564 hektar. ”Ini baru hitungan di Jambi. Belum termasuk daerah lain yang mengalami kasus serupa,” lanjutnya.
Target realisasi perhutanan sosial 12,7 juta hektar diprediksi sulit tercapai. Sebab, hingga hari ini, baru 2 juta hektar yang telah tercapai. Pihaknya mendorong pemerintah segera menerbitkan regulasi khusus tentang perhutanan sosial di areal gambut.