Hutan Negara Diobral Makelar
JAMBI, KOMPAS - Hutan negara di Jambi yang sedang direstorasi kini diperjualbelikan oleh makelar tanah. Konflik pun tak terhindarkan antara perambah dan tim patroli hutan.
Hutan negara di areal restorasi ekosistem Harapan, perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan, masif diperjualbelikan. Sejumlah makelar nekat mengobral lahan.
”Empat hektar ditawarkan dengan harga Rp 6 juta di wilayah Simpang Macan,” ujar Adam Aziz, Head of Stakeholder Partnership and Land Stabilization Division Hutan Harapan, Minggu (21/10/2018).
Artinya, hutan negara di wilayah itu dihargai Rp 1,5 juta per hektar. Padahal, tahun 2010, Kompas mendapati harga lahan di Hutan Harapan Rp 2,5 juta per hektar.
Untuk meyakinkan calon pembeli, makelar menyebut, pemilik lahan adalah warga komunitas Bathin IX. Calon pembeli lahan umumnya tidak tahu bahwa kawasan itu berstatus hutan negara yang direstorasi. Akibatnya, lebih dari 20.000 hektar dari 98.555 hektar Hutan Harapan diperjualbelikan.
Konflik pun tak terhindarkan. Pekan lalu, konflik terjadi antara kelompok penjual lahan dan tim patroli Hutan Harapan. Adam menuturkan, pihaknya mendapat informasi sejak pertengahan September, ada sekitar 20 warga asal Sungai Bahar memasuki hutan untuk membuka kebun sawit di wilayah Bungin.
Tim patroli hutan yang sebagian beranggotakan warga Bathin IX berkumpul dan mengintensifkan penjagaan. Mereka mendirikan pos jaga di sekitar Sungai Penyerukan. Tujuannya membatasi ruang gerak para makelar tanah dan masuknya pendatang baru.
Melihat ada aktivitas penebangan pohon di wilayah Sungai Penyerukan Blukar Tebu Begambut, warga Bathin IX mendatangi pembuka lahan. Para perambah diusir dan diberi peringatan. Sempat terjadi adu fisik.
Dalam laporan ke Kepolisian Resor Batanghari, Samroni (67), warga yang terlibat adu fisik, menyebut peristiwa itu sebagai pengeroyokan terhadap dirinya dan tiga rekan sewaktu memasuki Hutan Harapan. Di hutan, tim patroli mengambil barang dan karung mereka. Mereka juga mengaku dipukuli dengan kayu dan senjata api.
Terkait laporan itu, Adam menjelaskan, keempat warga masuk ke hutan membawa senjata tajam dan mengaku mencari jengkol dan kabau.
Sebelumnya, mereka pernah diberi peringatan. Kali ini, mereka diusir. Namun, warga perambah melawan sehingga terjadi cekcok berujung adu fisik dengan tim patroli hutan.
Tak hanya jual beli lahan, aktivitas pembukaan hutan dengan alat berat oleh pemodal besar masuk pula di Hutan Harapan. Bulan lalu, tim patroli mendapati satu ekskavator membuka hutan di wilayah Kunangan Jaya.
Bersama tim polisi kehutanan dari Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, alat berat disita sebagai barang bukti. Dua orang disidangkan di Pengadilan Negeri Jambi, yaitu Sarno, warga Desa Bungku yang menjadi makelar lahan, dan Jumli Munthe, tauke kebun sawit asal Medan. Belakangan, Sarno melaporkan balik pengelola hutan.
Masyarakat menunggu
Masyarakat di wilayah gambut Provinsi Jambi menunggu kepastian pemerintah terkait pengelolaan gambut berkelanjutan. Hampir dua tahun mengusulkan rencana kelola hutan desa gambut, masyarakat tak kunjung mendapatkan kepastian hukum.
Padahal, warga Desa Pematang Rahim, Kecamatan Mendahara Ulu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, telah menyediakan perangkat untuk mendukung pemanfaatan kawasan, bahkan membentuk Lembaga Pengelola Hutan Desa dan Masyarakat Peduli Api. Mereka menjaga hutan lindung gambut dari kerusakan dan membangun ekowisata.
Namun, rencana dan program kerja belum dapat berjalan. Hak kelola hutan desa seluas 1.185 hektar tak kunjung dilegalisasi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa Pematang Rahim, Suryani, menuturkan, awalnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sangat responsif mendorong masuknya usulan masyarakat. Tim verifikasi pun diterjunkan ke lokasi, Juni 2017. Semua permohonan dinyatakan dapat diterima.
Areal yang dimohonkan sudah masuk ke dalam Peta Indikatif Arahan Perhutanan Sosial dan Lembaga Pengelola Hutan Desa dan masyarakat. Artinya, semua telah memenuhi syarat.
Hutan Lindung Gambut Sungai Buluh diajukan untuk dikelola dengan skema hutan desa seluas 1.185 hektar.
Wakil Direktur Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, Adi Junedi, yang mendampingi warga, mengatakan, ada tumpang tindih antara Peta Indikatif Penundaan Izin Baru dan Peta Indikatif Arahan Perhutanan Sosial. Dalam kedua peta itu, wilayah hutan desa tumpang tindih. (ITA)