PALU, KOMPAS - Para penyintas bencana alam Sulawesi Tengah mulai gelisah akibat terlalu lama tinggal di tenda darurat pengungsian. Banyak pengungsi memilih membangun hunian sementara secara mandiri. Namun, ada juga yang nekat membuatnya di atas puing rumah yang hancur.
Hingga hari ke-23 pascagempa-tsunami, sebagian besar pengungsi masih tinggal di tenda darurat yang tersebar di sejumlah daerah. Mereka berdesakan melawan hawa panas saat siang dan dingin saat malam. Kondisi ini rentan menurunkan stamina dan memicu stres.
Bambang Musi (43), warga Kelurahan Mamboro, Palu, mengaku tak betah lagi hidup di tenda darurat. Ia dan tiga anggota keluarganya enggan tinggal berdesakan bersama warga lainnya. Apalagi, mereka mulai terserang diare dan gatal-gatal. Oleh karena itu, ia memberanikan diri membangun hunian sementara sendiri di atas puing tempat tinggalnya yang hancur. ”Material kayu diambil dari puing-puing rumah. Tendanya adalah bantuan donatur,” kata Bambang.
Meski ada perasaan cemas tsunami bakal datang lagi, Bambang mengaku terpaksa melakukan itu karena tidak memiliki tempat lain. Selain itu, pilihannya kembali ke rumah untuk memudahkan pendataan korban bencana.
Fajar (22), warga Jalan Dupa 1, Kelurahan Layana, Mantikulore, Palu, juga melakukan hal sama. Dia pun kembali tinggal di dalam rumah yang hampir roboh akibat tsunami. Rumahnya hanya berjarak 600 meter dari Pantai Mamboro. ”Kami bersihkan dulu puing-puingnya. Beberapa tembok retak besar dirobohkan. Kami tidur di ruangan yang retakannya lebih kecil,” kata Fajar.
Tidak hanya penyintas tsunami, warga terdampak gempa juga memilih kembali meski rumahnya rusak berat. Nurfiah (43), warga Kelurahan Tondo, Mantikulore, Palu, pulang meski di rumahnya itu seorang keponakannya tewas tertimpa tembok.
”Ingin saja. Apalagi ini rumah mendiang suami saya. Mau datang jaga rumah ini saja,” ujar Nurfiah dengan wajah masih dirundung trauma.
Alasan lain diungkapkan Atman (60), warga Desa Mpanau, Kecamatan Biromaru, Sigi. Dia enggan meninggalkan rumahnya karena dekat dengan sumber mata pencariannya sebagai petani. Atman khawatir bakal tidak berpenghasilan jika jauh dari kebunnya.
”Saya juga nanti ingin hunian baru yang disediakan pemerintah tidak jauh dari mata pencariannya. Kami butuh bekerja untuk melanjutkan hidup,” kata Atman.
Bahan kayu
Meski tidak membangun tepat di atas rumahnya yang ambruk, Atman tidak punya bekal mitigasi bencana saat membangun hunian sementara. Dia hanya mengandalkan pengetahuan sederhana setelah sebelumnya pernah menjadi tukang kayu.
Dindingnya menggunakan papan kayu dan seng bekas. Atap rumahnya juga memanfaatkan seng. Ukuran rumah sementara, yaitu 6 meter x 8 meter, dibuat memiliki tiga kamar dan satu ruang tamu kecil. ”Saya tidak tahu berapa kuat rumah ini. Namun, pasti lebih tahan gempa karena dibuat bukan dari beton, melainkan kayu,” katanya.
Samran (41), warga Petobo, Kota Palu, juga enggan jauh dari sawah yang rusak akibat likuefaksi. Alasannya, lahan seluas 5.000 meter persegi adalah harta paling berharga yang ia miliki saat ini. ”Agar lebih dekat dengan sawah, saya pilih bertahan di sekitar posko pengungsian dengan membangun hunian sementara sendiri. Saya belum dapat jatah hunian dari pemerintah,” kata Samran yang tinggal bersama 7 anggota keluarganya di rumah berdinding seng berukuran 4 meter x 6 meter.
Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto mengatakan, idealnya pengungsi hanya boleh tinggal di tenda pengungsian selama satu minggu. Selebihnya hanya akan mengundang berbagai penyakit.
Achmad juga menjelaskan, saat ini pengungsi mulai tertekan kondisi kejiwaannya dipicu stres. Dalam keadaan itu, ditambah sanitasi yang buruk, beragam penyakit mulai muncul. ”Mereka butuh ruang privasi dan sistem sanitasi yang baik. Kalau di tenda darurat, hidup mereka serba terbatas. Ini yang membuat kondisi psikis terganggu,” ujarnya. (IDO/JOG/CHE)