BANDUNG, KOMPAS — Daerah patahan Palu-Koro, Sulawesi, dan bekas likuefaksinya membuat tata ruang daerah-daerah yang tertimpa bencana perlu direvisi ulang. Ketegasan regulasi tata ruang untuk daerah rawan bencana perlu dilakukan sebagai bentuk mitigasi bencana.
Kepala Pusat Penelitian Pengembangan Perumahan dan Permukiman Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Arief Sabaruddin, di Bandung, Selasa (23/10/2018), mengatakan, daerah patahan dan yang terkena likuefaksi tidak boleh dibangun. Ia berujar, belum ada teknologi bangunan yang bisa bertahan di daerah ini sehingga bisa membahayakan masyarakat.
”Yang pasti, daerah patahan akan diberi pembatas izin pembangunan. Regulasi tata ruang sebagai bentuk mitigasi ini juga akan dikerjakan sesuai dengan wilayah. Untuk Patahan Palu-Koro yang melintasi provinsi, bisa jadi perlu aturan nasional, seperti peraturan menteri, bahkan peraturan presiden. Semua tergantung urgensinya,” kata Arief dalam Diskusi Terbuka Pembelajaran Gempa Lombok dan Gempa Palu untuk Mitigasi Bahaya Kegempaan dan Tsunami di Jawa Bagian Barat di Institut Teknologi Bandung.
Arief mengemukakan, revisi ulang tata ruang ini dilakukan dengan hasil penelitian dari para pakar yang menjadi pertimbangan dalam mengambil kebijakan sesuai dengan risiko dan daerah cakupannya. Ia berharap pemerintah daerah dan masyarakat mau memperhatikan tata ruang sebelum membangun kembali wilayahnya.
”Ketegasan regulasi ini ini tidak hanya berlaku di daerah bencana seperti Palu dan Lombok. Di sini juga ada patahan Lembang yang perlu diperhatikan. Kita harus hidup berdampingan dengan bencana karena tidak bisa dihindari. Kalau masih saja ada yang nakal, berarti mereka akan melawan hukum alam,” ujarnya.
Standar bangunan
Menurut Arief, regulasi ini menjadi dasar dalam penerapan teknologi dan menjadi standar acuan dalam pembangunan. ”Standar Nasional Indonesia yang menjadi acuan wajib diterapkan dengan mempertimbangkan beban yang terjadi. Jika terkait dengan keselamatan warga, maka hukumnya wajib,” ucapnya.
Turut hadir sebagai pembicara, Guru Besar Rekayasa Struktur Fakultas Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung Iswandi Imran yang memaparkan Palu merupakan daerah dengan tingkat kerawanan gempa yang relatif tinggi akibat aktivitas tektonik dari patahan Palu-Koro. Hal ini berimbas pada standar bangunan yang berperan penting dalam ketahanan bangunan saat terjadi bencana.
”Palu adalah kota dengan tingkat kerawanan tinggi dan bangunannya perlu perhatian khusus. Namun, banyak bangunan yang dibangun dengan sistem kolom yang tidak memadai. Padahal, sistem kolom ini berfungsi memperkokoh bangunan. Standar bangunan perlu ditingatkan,” ujarnya.
Iswandi berujar, persyaratan ini semakin tinggi jika berhadapan dengan fasilitas publik karena berhubungan dengan masyarakat banyak. Ia menyarankan, bangunan publik tersebut perlu mendapatkan perhatian khusus.
”Bangunan seperti sekolah dan rumah sakit perlu dikaji ulang karena berkaitan dengan keberlangsungan masyarakat dan generasi muda. Hal ini merupakan salah satu bentuk mitigasi bencana,” ujarnya.