Petak Tengkorak di Pelintasan Sebidang
”A single death is a tragedy; a million deaths is a statistic.”
Demikianlah salah satu pernyataan terkenal dari Josef Stalin, Pemimpin Uni Soviet kurun April 1922-Oktober 1952.
Kematian satu atau beberapa orang menjadi tragedi, sedangkan kematian jutaan orang adalah angka-angka. Ya, kematian datang dan pergi; menjadi tragedi dalam pikiran yang kemudian terlupa.
Kurun awal bulan ini sampai dengan Selasa (23/10/2018), di Surabaya tercatat tiga kecelakaan kereta api. Dari tiga kenaasan itu, lima nyawa melayang. Apakah tragedi atau statistik?
Kecelakaan pertama pada Jumat (5/10/2018) pukul 22.05 di pelintasan Pos 22 atau Margorejo. Di sini, mobil Toyota Avanza dengan pelat nomor polisi L 1928 JV dan sepeda motor Honda Vario dengan nomor polisi L 5101 NL dihantam KA Mutiara Timur jurusan Surabaya-Banyuwangi. Satu dari tiga penumpang mobil tewas, sedangkan korban lainnya, termasuk seorang pengendara sepeda motor, terluka.
Kurang dari tiga pekan atau pada Minggu (21/10/2018) pukul 13.47, di pelintasan Pagesangan, mobil Mitsubishi Pajero Sport dengan nomor polisi W 1165 YV dihantam KA Sritanjung jurusan Banyuwangi-Lempuyangan. Satu keluarga yang terdiri atas tiga orang tewas seketika.
Sehari kemudian atau Senin (22/10/2018) pukul 18.50, seorang perempuan tewas mengenaskan setelah disambar KA Penataran (KA Rapih Dhoho) relasi Surabaya-Blitar di depan SD Negeri 403 Margorejo. Lokasi tertabraknya perempuan yang hingga kini belum diketahui identitasnya itu lebih kurang 100 meter dari pelintasan Margorejo.
Mendasar
Di dua kecelakaan yang melibatkan KA dan kendaraan lain ada kemiripan. Kecelakaan terjadi terkait dengan dengan sirene atau alarm kedatangan KA tidak menyala. Mobil yang tertabrak karena menerobos pelintasan mungkin karena pengemudi melihat palang pintu tidak atau belum diturunkan. Akibatnya timbul keputusan ”nekat” untuk terus melaju tanpa menyadari ada KA mendekat.
Kemiripan lain, kecelakaan di Margorejo dan Pagesangan terjadi di pelintasan yang dijaga. Bedanya, pelintasan Margorejo dijaga pegawai honor Dinas Perhubungan Kota Surabaya, sedangkan pelintasan Pagesangan dijaga dua sukarelawan. Dalam dua peristiwa kenaasan itu, tim penyidik Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya dan Kepolisian Daerah Jawa Timur memeriksa keempat penjaga pelintasan yang bertugas saat kecelakaan fatal terjadi.
Meski dalam peristiwa itu bisa jadi ada unsur kelalaian manusia, fakta bahwa sirene atau peringatan KA mendekat tidak berbunyi sebaiknya tak boleh dikecilkan. Di pelintasan, terutama yang dijaga oleh petugas khusus, idealnya perangkat keselamatan dan keamanan lalu lintas perkeretaapian berfungsi dengan baik. Jika salah satu tidak berjalan baik, akibatnya sudah pasti fatal.
Memang, dalam konteks kecelakaan KA di perpotongan antara rel dan jalan, publik perlu memahami bahwa perjalanan KA harus didahulukan. Secara sederhana, dalam kasus kecelakaan di pelintasan, KA tidak bisa dipersalahkan.
Pasal 114 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan menyatakan, pada pelintasan sebidang antara jalur KA dan jalan, pengemudi kendaraan wajib berhenti ketika sinyal sudah berbunyi dan palang pintu KA sudah mulai ditutup serta wajib mendahulukan kereta api.
Aturan itu bisa dipahami secara praktis bahwa setiap pengemudi wajib meningkatkan kewaspadaan saat mendekati pelintasan. Jika terdengar sinyal kedatangan KA berbunyi, yang harus dilakukan adalah berhenti di belakang garis aman pelintasan. Jangan nekat menerabas pelintasan terutama saat sistem peringatan berbunyi.
Pasal 90 UU No 23/2007 tentang Perkeretaapian menyatakan penyelenggara prasarana perkeretaapian berhak dan berwenang mendahulukan perjalanan kereta api di perpotongan sebidang dengan jalan. Pasal 124 regulasi itu memperkuat dengan pernyataan pada perpotongan sebidang antara jalur kereta api dan jalan, pemakai jalan wajib mendahulukan perjalanan kereta api.
Pelintasan
Kepala Dinas Perhubungan Jawa Timur Raden Bagus Fattah Jasin mengungkapkan, sistem peringatan dini (early warning system/EWS) di pelintasan Pagesangan tidak berbunyi akibat kabel putus tertimpa pohon. Sukarelawan penjaga tidak mengetahui kondisi itu, apalagi melaporkannya kepada instansi berwenang.
Akibatnya, sebelum kecelakaan terjadi, penjaga sukarelawan terlambat menurunkan palang pelintasan. Ketika itu ada mobil yang telanjur menerobos, tetapi diduga ”nyangkut” di rel dan gagal menghindari tabrakan.
Kepala Satuan Lalu Lintas Polrestabes Surabaya Ajun Komisaris Besar Eva Guna Pandia mengatakan, dua kecelakaan di Margorejo dan Pagesangan masih dalam penyelidikan bersama Polda Jatim. Untuk sementara, terkait dengan kecelakaan di Margorejo, tim penyidik menemukan fakta bahwa sinyal, palang pintu, dan genta merupakan sistem peringatan terintegrasi dan tidak berfungsi saat kecelakaan.
Stasiun Wonokromo adalah prasarana terdekat dari pelintasan Margorejo untuk meluncurnya KA. Idealnya, ketika KA berangkat dari Stasiun Wonokromo ke arah pelintasan itu, genta berbunyi sehingga sinyal dan telepon di Pos 22 turut berbunyi yang kemudian secara otomatis membuat palang turun dalam pengawasan petugas jaga. Namun, sistem ini tidak berjalan maksimal dan masih diselidiki di mana kekeliruannya.
Manajer Hubungan Masyarakat PT Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi 8 Surabaya Gatut Sutiyatmoko mengatakan, kasus kecelakaan KA di pelintasan sebidang cenderung meningkat. Pada 2015 terjadi 23 kecelakaan. Setahun berikutnya, jumlah kasus menjadi 30 kecelakaan. Tahun lalu terjadi 52 kecelakaan.
Menurut catatan Pemerintah Provinsi Jatim, di Daop 7 Madiun, Daop 8 Surabaya, dan Daop 9 Jember ada 1.465 pelintasan sebidang. Sebanyak 911 pelintasan telah dipasangi sistem peringatan dini (EWS). Dengan sistem itu, 1 kilometer sebelum KA melintas ada tanda bunyi. Khusus di Daop 8 Surabaya, ada 718 pelintasan. Sebanyak 143 pelintasan di antaranya dijaga KAI, 41 pelintasan dijaga pihak ketiga, yakni pemerintah/swasta/masyarakat, dan 460 pelintasan resmi tidak berpenjaga, dan 76 pelintasan ilegal.
Apa pun itu, kematian di pelintasan tidak mungkin dikembalikan. Kematian apakah hanya menjadi tragedi yang menggerakkan kita untuk berubah lebih baik atau akan terus berulang, bertambah, dan menjadi angka-angka yang tak bermakna?