BANDA ACEH, KOMPAS - Sejumlah pihak mengapresiasi putusan Pengadilan Negeri Tapaktuan, Aceh Selatan, Aceh, yang menghukum dua pelaku perdagangan kulit harimau 4 tahun penjara dan denda Rp 50 juta. Vonis itu tertinggi yang pernah diputuskan di Aceh untuk kejahatan lingkungan.
Kedua pelaku, Sarkawi (44) dan Sabaruddin (43), warga Kota Subulussalam, Aceh. Putusan dibacakan majelis hakim yang diketuai Zulkarnain, Jumat pekan lalu. Dalam putusan disebutkan, kedua terdakwa terbukti memperniagakan kulit satwa yang dilindungi. Barang bukti berupa selembar kulit harimau diserahkan kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh.
Kepala BKSDA Aceh Sapto Aji Prabowo di Banda Aceh, Senin (22/10/2018), mengapresiasi putusan itu. Vonis tersebut memberi harapan baik untuk penegakan hukum di sektor lingkungan. Vonis itu menunjukkan mulai ada pemahaman aparat penegak hukum, polisi, kejaksaan, dan hakim terhadap isu lingkungan. ”Ini vonis tertinggi di Aceh,” kata Sapto.
Kepala Kepolisian Resor Aceh Selatan Ajun Komisaris Besar Dedy Sadsono mengatakan, vonis berat menandakan penegakan hukum kian baik. Saat ini polisi masih memburu pihak lain yang terlibat kasus itu.
Sarkawi dan Sabaruddin ditangkap pada Juli 2018 di Aceh Selatan. Polisi menemukan selembar kulit harimau disembunyikan dalam karung. Kulit harimau itu mereka dapatkan dari pemburu babi dan akan dijual kepada penampung.
Dua tahun terakhir, Sapto mencatat ada 12 pelaku perburuan dan perdagangan satwa lindung divonis bersalah oleh pengadilan. Mereka divonis 7 bulan penjara hingga 4 tahun penjara. April 2018, Suhardi (46), warga Aceh Timur, divonis 2 tahun penjara karena menjual gading gajah.
Sapto mengatakan, saat ini kasus kejahatan lingkungan yang sedang ditangani kepolisian adalah pembunuhan gajah jinak Bunta di Aceh Timur, kasus penjualan kulit harimau di Aceh Timur, kasus perdagangan tulang gajah di Langsa, dan penjualan landak di Subulussalam.
Aktivis World Wide Fund for Nature Aceh, Azhar, mengatakan, meski putusan cukup tinggi, penegakan hukum tidak pernah sampai pada pemodal. Dalam banyak kasus, yang dijerat hanya pelaku di lapangan, seperti pemburu atau perantara.
Menurut Azhar, kelemahan hukum di Indonesia adalah belum ada standar nilai kerugian dalam kasus lingkungan, baik hutan maupun satwa lindung.
”Nilai kerugian negara dalam kasus satwa lindung sering menggunakan standar pasar gelap, misalnya kematian seekor harimau dinilai Rp 30 juta. Padahal, ekosistem alam rugi besar dengan kematian seekor harimau,” kata Azhar.
Azhar berharap pelaku kejahatan lingkungan divonis berat seperti pelaku kejahatan narkoba. Saat ini populasi harimau di Indonesia tinggal 600 ekor. Setengahnya ada di Aceh. (AIN)