Proses Rehabilitasi dan Rekonstruksi Perlu Waktu Panjang
Oleh
KHAERUL ANWAR
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS - Proses Rehabilitasi dan Rekonstruksi rumah pascagempa di Lombok-Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, memerlukan waktu cukup panjang, karena ditemukan banyak persoalan di lapangan seperti ketersediaan bahan bangunan dan pencairan dana stimulan untuk perbaikan rumah warga.
"Di Lombok Barat, dari 72.222 rumah yang rusak, sebanyak 14.000 rumah rusak berat. Ketika presiden menyerahkan bantuan, baru dua rumah yang jadi. Kalau begini modelnya, perlu waktu cukup panjang menuntaskan rehabiltasi dan rekonstruksi rumah," ujar M Taufiq, Sekretaris Daerah Lombok Barat, saat acara peresmian Desa Berdaya yang dibangun Rumah Zakat di Desa Menggala, Kecamatan Pemenang, Lombok Utara, Rabu (24/10/2018).
Menurut Taufiq, persoalan yang dihadapi saat ini adalah terbatasnya pasokan panel untuk membangun rumah instan sederhana sehat (Risha), pencairan dana stimulan sesuai prosedur dan mekanisme, serta dan belum jelasnya realisasi jaminan hidup (jadup) bagi warga terdampak gempa.
Padahal Pemkab Lombok Barat sudah mengirim Surat Keputusan perihal verifikasi penerima jadup, termasuk upaya percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi agar berjalan lebih cepat. "SK (jadup) sudah jadi, tetapi uangnya belum turun,” kata Taufiq.
Sekda Kabupaten Sumbawa, Rasyidi, mengatakan warga terdampak gempa di Sumbawa memerlukan huntara. Ini mengingat total rumah rusak berat di Sumbawa 2.169 unit. Sedang huntara yang tersedia sebanyak 1.500 unit yang dibangun Pemkab Sumbawa, Relawan, organisasi sosial, dan para donatur. “Sambil menunggu kepastian pembangunan hunian tetap (huntap) dari Pemerintah, kami masih membutuhkan 600 huntara, agar warga tidak lagi tinggal di tenda pengungsian," tuturnya.
Rasyidi belum yakin rehabilitasi dan rekonstruksi tuntas dalam dua tahun, karena perhatian Pemerintah Pusat terbagi kepada warga terdampak gempa, tsunami dan likuefaksi di Sulawesi Tengah.
Dalam kondisi itu tradisi gotong-royong dalam membangun rumah mesti dikedepankan, dan tidak menggantungkan harapan kepada pemerintah pusat seperti jaminan hidup (jadup).
"Jadup belum ada tanda-tandanya. Surat Kemensos bolak-balik, yang bikin bingung. Dengan kemampuan yang ada, kita harus yakin, ada atau tidak adanya bantuan pusat, lakukan yang bisa kita lakukan," ucapnya.
Sekda Lombok Utara, Suardi, mengatakan, kondisi sosial dan ekonomi pascagempa kabupaten itu sudah normal. Lewat progam ‘Kembali ke Rumah’ banyak warga yang tidak tinggal di pengungsian, meski masih ada bermukim sementara di bawah tenda pengungsian.
Bagi yang pulang, pemkab membantu tripleks, seng dan kereta dorong untuk membangun hunian sementara (huntara) dan membersihkan puing rumahnya akibat gempa.
Huntara
Menurut Usman (28), warga Dusun Menggala, Desa Pemenang Barat, Lombok Utara, mengaku, ingin cepat kembali membangun rumahnya yang rata tanah akibat gempa.
Sekitar dua minggu terakhir Usman bersama istri dan seorang anaknya tinggal di huntara yang dibangun Rumah Zakat. Ia tinggal di huntara, juga enggan mengambil jatah bantuan enam lembar tripleks, enam lembar seng dan satu kereta dorong dari Pemkab Lombok Utara, sebab ada warga yang lebih berhak menerimanya.
Bantuan itu pula untuk 10 kepala keluarga per dusun. Ia mengaku akan menyisihkan dari hasil jual-beli telepon selular untuk beli membeli bahan membangun huntap.
Rumahnya diklasifikasi rusak berat, dan berhak atas dana stimulan Rp 50 juta. Usman belum mengantungi rekening bank, belum membentuk kelompok masyarakat –persyaratan pencairan dana stimulan, karena belum menerima Surat Keputusan verifikasi dari Pemkab Lombok Utara.
Jamharil, warga Desa Menggala, juga memilih tinggal di huntara, karena tempat tinggalnya roboh digoyang gempa beruntun. Proses pendataan dan verfikasi rumahnya sudah dilakukan petugas, namun Jamharil belum mengantongi rekening bank.
"Sudah berbulan-bulan kami di tenda pengungsian, sampai saat ini belum ada satu pun (dana stimulan) yang cair. Kami berharap bantuan uang lebih cepat dicairkan biar kami cepat bikin rumah baru," kata Jamharil.