PANGURURAN, KOMPAS - Penolakan terhadap tiga bocah dengan HIV/AIDS untuk belajar di sekolah umum di Samosir, Sumatera Utara, ditengarai terjadi karena degradasi pemahaman jajaran pemerintah dan warga di Samosir terkait HIV/ AIDS.
Padahal, sebelumnya dua bocah dengan HIV/AIDS dapat belajar di sekolah dasar di Samosir. Bahkan, satu anak sudah lulus dan melanjutkan ke SMP.
Tiga anak yang ditolak adalah AS (9) dan PH (10) yang belajar di sekolah dasar dan SS (5) yang masuk taman kanak-kanak di Kecamatan Nainggolan, Samosir.
Ketiga anak diasuh oleh House of Love Rumah Sakit Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Nainggolan, shelter bocah-bocah yatim piatu dengan HIV/AIDS di Nainggolan, Samosir. Saat ini, shelter yang diresmikan tahun 2015 tersebut mengasuh enam bocah dengan HIV/AIDS berusia 2-14 tahun.
Kepala Departemen Diakonia HKBP sekaligus pendiri Komite HIV/AIDS HKBP Debora Sinaga, yang mengelola shelter, Selasa (23/10/2018), mengatakan, pada 2015, dua bocah dengan HIV/AIDS, ET (9) dan BAH (14), dengan dukungan pemda bisa bersekolah di Nainggolan. Saat ini BAH sudah tamat SD dan melanjutkan ke SMP.
Menurut Debora, sesuai UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014, anak-anak tidak boleh didiskriminasi. Mereka berhak bersekolah di sekolah umum.
”Tahun lalu kami bertemu bupati untuk mengajukan tiga anak bersekolah di sekolah publik,” kata Debora. Atas saran dinas pendidikan, anak-anak itu disekolahkan di tempat berbeda dengan sekolah sebelumnya.
Anak-anak itu bersemangat bersekolah pada tahun ajaran baru ini. Namun, dua hari bersekolah, mereka dipulangkan. ”Mereka bertanya kepada kakak asuh kenapa dipulangkan? Dijawab, untuk memberi semangat, sekolah masih dibersihkan,” kata Debora.
Pertengahan Oktober, pihaknya beraudiensi dengan Pemkab Samosir, diterima oleh Wakil Bupati Samosir Juang Sinaga. Hadir dalam pertemuan itu pihak dinas sosial, dinas kesehatan, dinas pendidikan, Lembaga Perlindungan Perempuan dan Anak, serta orangtua siswa.
Dalam pertemuan timbul penolakan pada siswa dan disarankan mereka masuk program homeschooling. Orangtua khawatir anak-anak mereka tertular.
Tak mudah menular
Menurut Debora, anak-anak itu sudah dibekali pemahaman untuk menjaga diri. Selain itu, HIV/AIDS juga tidak mudah menular. HIV/AIDS hanya menular lewat hubungan seksual, transfusi darah, jarum suntik, dari ibu ke janin, serta air susu ibu penderita HIV/AIDS. Tidur bersama penderita, bahkan makan dari piring yang sama, tidak akan menularkan HIV/AIDS.
Debora menyadari penolakan itu karena masyarakat masih memahami HIV/AIDS sebagai hal yang tabu. Ia juga menyayangkan para pemangku kepentingan yang tidak memahami HIV/AIDS dengan baik.
Ditemui di Medan, Wakil Bupati Samosir Juang Sinaga mengatakan, Pemerintah Kabupaten Samosir pada prinsipnya menerima anak-anak tersebut bersekolah di Samosir. ”Mereka, kan, sudah terdaftar secara resmi di sekolah di Samosir. Yang menolak itu masyarakat, bukan pemerintah,” katanya.
Juang mengatakan, Komite HIV/AIDS HKBP seharusnya lebih dulu melakukan sosialisasi ke lingkungan sekolah dan masyarakat agar tidak ada penolakan. Ia mengakui, pemahaman masyarakat Samosir terhadap HIV/AIDS masih sangat minim. Juang berjanji untuk mencari solusi agar anak-anak itu tetap bisa bersekolah di Samosir. (WSI/NSA)