BANDUNG, KOMPAS - Sekitar 18 sukarelawan mengikuti program Sekolah Cerdas 2.0. Program ini sebagai kerja sama Peace Generation Indonesia, Muhammadiyah Disaster Management Center, serta Lembaga Zakat Infaq dan Shodaqoh Muhammadiyah Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Melalui kegiatan ini diharapkan tumbuh dan berkembang semangat perdamaian dan perubahan bagi Indonesia.
Sekolah Cerdas 2.0 ini dilakukan selama 10 hari di Kota Bandung, Jawa Barat, sejak Kamis (25/10/2018). Peserta dibekali pengetahuan mitigasi pengurangan risiko bencana alam dan sosial. Bencana sosial yang dimaksud di antaranya tawuran, perundungan, maupun ujaran kebencian.
Mereka akan diutus ke sekolah-sekolah selama tiga bulan di lima wilayah, yakni Maluku, Nusa Tenggara Timur, Surabaya (Jatim), Yogyakarta, dan Cianjur (Jawa Barat).
”Anak-anak muda dengan energi besar dapat membawa perubahan luar biasa untuk Indonesia dengan membawa kesejukan, juga menebarkan nilai-nilai perdamaian. Kami menargetkan pada 2029 dapat membina 100.000 agen perdamaian dari kalangan anak-anak muda dan sampai saat ini sudah sekitar 30.000 orang,” kata pendiri Peace Generation Indonesia, Erik Lincoln.
Suhu politik Indonesia akhir-akhir ini cenderung panas menjelang Pemilihan Presiden 2019, marak di media sosial ujaran kebencian, kabar bohong atau hoaks yang menggunakan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), kalangan anak-anak perlu ditantang untuk bergerak aktif menangkal hal ini.
Mereka perlu ditantang berbuat kebaikan, menebarkan perdamaian, termasuk juga dalam penanggulangan bencana. Jangan sampai mereka justru ditantang untuk melakukan kekerasan atau kejahatan.
”Saya yakin anak-anak muda sekarang tidak cuma bisa narsis, atau sibuk main ponsel. Ketika mereka ditantang dan diberi kepercayaan, mereka dapat melakukan hal-hal kreatif,” ucapnya.
Ketua Muhammadiyah Disaster Management Center Budi Setiawan berharap peserta dari Sekolah Cerdas membawa misi perdamaian di masyarakat dan mengubah paradigma lama. Perbedaan itu suatu keniscayaan, tapi dapat diselesaikan dengan mencari titik temu.
”Di negara ini dalam penyelesaian sejumlah masalah terkadang begitu sulit karena tak mampu mencari titik temu,” ujar Budi. (sem)