Bandara Internasional Kertajati Perlu Konektivitas
Oleh
machradin wahyudi
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Bandara Internasional Jawa Barat Kertajati dibangun untuk diproyeksikan menjadi pilihan jalur penerbangan karena aktivitas Bandara Soekarno-Hatta melebihi kapasitas. Namun, Kertajati tidak akan berjalan optimal jika masyarakat tidak mendapatkan akses yang mudah.
Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Transportasi Udara Kementerian Perhubungan, Eny Yuliawati, di Bandung, Jumat (26/10/2018), menjelaskan, aktivitas Bandara Soekarno-Hatta berada dalam kondisi kelebihan kapasitas yang mencapai 250 persen.
Penerbangan-penerbangan ini, lanjut Eny, bisa dialihkan melalui Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati karena sekitar 16 persen penumpang yang menggunakan Bandara Soekarno-Hatta berasal dari Jawa Barat. Selain itu, tidak semua penerbangan yang berada di Bandara Soekarno-Hatta merupakan destinasi akhir.
Eny menjelaskan, kondisi ini dapat menjadikan BIJB Kertajati sebagai bandara sekunder dalam sistem multi-bandara terhadap Bandara Soekarno-Hatta, Bandara Husein Sastranegara, dan Bandara Halim Perdanakusuma. Selain itu, potensi industri dan perdagangan juga menjadi lebih berkembang jika sistem ini berjalan dengan baik karena permintaan pasar.
”Kelebihan kapasitas seperti ini tentunya akan merugikan pihak maskapai dan penumpang. Bisa saja penerbangan transit dialihkan ke BIJB Kertajati sehingga menurunkan lalu lintas penerbangan di Soekarno-Hatta,” ujarnya seusai diskusi kelompok terarah terkait optimalisasi BIJB Kertajati.
Menurut Eny, BIJB perlu memperhatikan konektivitas pengguna bandara terhadap tujuan akhir mereka. Kemudahan akses menjadi kunci keberhasilan karena masyarakat memperhatikan kecepatan waktu tempuh, biaya yang terjangkau, dan kenyamanan yang didapatkan selama mengakses bandara.
Terbagi dua
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan Sugihardjo menyebutkan, konektivitas yang menjadi kunci ini terbagi dalam dua makna, untuk masyarakat yang mengakses Bandara Kertajati dan untuk jaringan penerbangan yang ada. Kemudahan akses masyarakat dapat dilihat dari pembangunan transportasi darat menuju lokasi, seperti jalan tol dan jalur kereta api.
”Kalau berhubungan dengan bandara, masyarakat pasti berpikir kecepatan dan ketepatan waktu. Di sini akses transportasi berperan penting,” ujarnya.
Sugihardjo menuturkan, pengembangan jaringan penerbangan BIJB Kertajati akan menemukan hambatan jika tidak ada keberpihakan dari pemangku kepentingan.
Baik perusahaan maskapai maupun pengelola bandara, lanjutnya, perlu memusyawarahkan rute penerbangan dan pengembangan fasilitas pendukung. Masyarakat menginginkan bandara yang mudah dijangkau dan sesuai dengan kebutuhan mereka.
”Orang-orang yang ingin ke Bandung tentu masuknya dari Bandara Husein Sastranegara. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian untuk melihat mana yang bisa dipindahkan ke Kertajati. Jika dibiarkan begitu saja, Kertajati tidak akan bisa berkembang,” ucapnya.
Direktur Operasi dan Pengembangan Bisnis PT Bandarudara Internasional Jawa Barat (PT BIJB) Agus Sugeng Widodo berujar, BIJB Kertajati merupakan bandara dengan luas 96.000 meter persegi dengan tiga landasan pacu. Bandara ini menurut rencana difungsikan untuk pendaratan pesawat-pesawat besar seperti Boeing 777 dan Airbus A 380 untuk penerbangan haji dan umrah.
Namun, hingga saat ini, pengoperasian BIJB Kertajati masih belum optimal. Agus mengatakan, saat ini hanya ada 20 penerbangan sehingga bandara masih terlihat sepi. Selain itu, aksesibilitas memang menjadi permasalahan dalam pengembangan Bandara Kertajati.
Menurut Agus, koordinasi dengan pemerintah terus dilakukan untuk menarik minat masyarakat agar mau menggunakan bandara ini, seperti akses kereta api bandara.
”Jika Tol Cisumdawu (Cileunyi-Sumedang-Dawuan) beroperasi, BIJB hanya berjarak 62 kilometer dari Bandung, lebih dekat jika dibandingkan ke Soekarno-Hatta. Ini yang dibutuhkan masyarakat,” ujarnya.