MEDAN, KOMPAS - Pengadilan Tinggi Medan menguatkan vonis atas Meiliana (44), warga Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara, yakni hukuman 1,5 tahun dalam kasus penodaan agama terkait volume suara azan.
Majelis hakim tidak mempertimbangkan secara khusus dukungan publik dari sahabat peradilan (amicus curiae) karena tidak disampaikan di persidangan dan tidak mendapat kuasa dari terdakwa.
”Pidana penjara 1 tahun 6 bulan, menurut Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Medan, memenuhi rasa keadilan bagi terdakwa dan masyarakat dan sesuai dengan kesalahan yang telah dilakukan terdakwa,” kata Ketua Majelis Hakim Daliun Sailan saat membacakan putusannya di Medan, Sumatera Utara, Kamis (25/10/2018).
Putusan dibacakan bergantian dengan anggota majelis Prasetyo Ibnu Asmara dan Ahmad Ardianda Patria. Sidang tak dihadiri terdakwa dan jaksa penuntut umum.
Daliun mengatakan, pihaknya menerima bahan pertimbangan sahabat peradilan dari sejumlah organisasi, antara lain Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia; Institute for Criminal Justice Reform; Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Toleransi, Pemajuan HAM, dan Pembangunan yang Adil; dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan. Sahabat peradilan itu meminta keringanan hukuman terhadap Meiliana.
”Namun, pertimbangan yang disampaikan amicus curiae tidak menjadi pertimbangan khusus karena keberatan disampaikan di luar persidangan dan tidak atas kuasa terdakwa,” kata Daliun.
Majelis hakim menyatakan, Meiliana bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan bersifat permusuhan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia sebagaimana diatur Pasal 156A KUHP. Putusan ini menguatkan putusan PN Medan pada 21 Agustus.
Kuasa hukum Meiliana, Ranto Sibarani, mengatakan, Meiliana akan mengajukan kasasi atas putusan itu. Ia menyayangkan, majelis hakim tidak mempertimbangkan pendapat amicus curiae hanya karena alasan tidak mendapat kuasa dari terdakwa. ”Kami berharap lebih besar pada Mahkamah Agung. Kami masih yakin bahwa Meiliana tidak bersalah,” katanya.
Kasus tindak pidana penodaan agama itu terjadi saat pengurus Masjid Al Maksum mengklarifikasi protes Meiliana pada suara azan di masjid di dekat rumahnya di Jalan Karya, Kecamatan Tanjung Balai Selatan, 22 Juli 2016.
Saat klarifikasi itu, Meiliana dinilai melakukan penodaan agama karena kembali mengatakan terganggu dengan volume suara azan yang keras. Hal itu kemudian memicu kerusuhan di Kota Tanjung Balai.
Sebanyak 3 wihara, 8 kelenteng, dan 2 kantor yayasan dirusak massa. Rumah Meiliana, mobil, dan sepeda motor dibakar massa yang marah. Pertokoan dan sekolah ditutup beberapa hari. (NSA)