Di Balik Gandrung yang Melegenda
Tidak mudah menjadi Gandrung alias penari gandrung Banyuwangi. Ia harus mampu menari sambil menyanyi. Karena itu, penari yang telah lulus mendapat wisuda khusus berupa sendratari ”Meras Gandrung”.
Gendang mulai ditabuh, gamelan pun dimainkan. Malam itu, di bawah sinar rembulan dan lampu panggung para penari gandrung muncul dari ujung panggung.
Kemunculan mereka mengubah malam dingin menjadi hangat. Para penari gandrung bergerak dengan lemah gemulai diiringi gending Podo Nonton yang dimainkan para nayaga. Wajah mereka memancarkan aura ratu panggung.
Di balik gemulainya tarian dan merdunya nyanyian, para penari gandrung mengorbankan banyak hal dalam hidupnya untuk kesempurnaan. Berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun mereka berada dalam gemblengan para guru agar bisa menjadi bintang panggung.
Kisah para Gandrung muda ini terekam dalam sendratari Meras Gandrung, Sabtu (22/9/2018). Sendratari ini dihadirkan untuk mengingatkan lagi ritual yang sudah jarang ada. Sendratari tersebut juga menjadi bagian dari pembuka perhelatan Jazz Gunung Ijen 2018.
Adalah Temu Misti alias Mbok Temuk yang menjadi salah satu pemeran utama. Mbok Temuk dikisahkan menerima permintaan sepasang suami istri untuk melatih anaknya menjadi penari gandrung.
Anak itu sebelumnya hanya mau mendengarkan musik modern. Ia sibuk bergaul sehingga lupa pulang ke rumah. Oleh orangtuanya, ia dibawa ke Mbok Temuk untuk diajari menari gandrung.
Dalam kultur masyarakat Osing (suku asli Banyuwangi), Gandrung tak hanya kebanggaan. Gandrung adalah bagian dari nilai kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun. Ada nilai menghormati sesepuh, saudara, dan sesama. Ada nilai menghormati sesepuh, saudara, dan sesama.
”Kene sun ajari. Hang sepisan, rika goyangno sirahe, pundake, terus bokonge (Sini saya ajari. Pertama-tama goyangkan kepala, pundak lalu pinggul/pantat),” ujar Mbok Temuk menuntun muridnya.
Setelah dinilai mampu menari, kini giliran Mbok Temuk mengajar muridnya bernyanyi. Serupa saat diajar bernyanyi, gadis murid Mbok Temuk menirukan nada-nada yang dikidungkan Mbok Temuk.
”Menjadi Gandrung, kamu harus menjalankan pupuk pita suara yang bisa digunakan untuk mengeluarkan lendir dari saluran suara. Cara ini juga bisa mengeluarkan aura negatif,” kata Mbok Temuk.
Bagi Temu, menjadi Gandrung tak hanya sekadar bisa menari dan menyanyi dan bisa mengisi pentas. Lebih dari itu, penari harus menjadi sosok yang bersih. Jauh dari hal negatif agar ketika berada di panggung, auranya terpancar. Untuk mencapai itu, perlu proses lama dan menyakitkan.
Dalam prosesi pupuk pita suara, calon penari gandrung menjalani ritual meminum ramuan gurah suara. Ramuan ini digunakan untuk menghilangkan dahak dan riak di tenggorokan.
Ramuan tersebut terdiri dari wortel, bawang merah, daun cabai, kunyit, dan bahan lain. Ramuan tersebut diracik hingga berbentuk cairan. Selanjutnya cairan dimasukkan ke hidung lalu dikeluarkan bersama kotoran dari hidung.
Tak mudah menjalani ritual tersebut. Konon, rasanya sangat sakit saat menjalani ritual tersebut. Agar mengurangi rasa sakit, calon penari gandrung
dirasuki arwah Mbah Semu, penari gandrung perempuan pertama.
Seusai dipupuk, barulah ritual Meras Gandrung atau mewisuda penari gandrung dilakukan. Para penari gandrung senior akan mengajak calon penari gandrung menari. Penari gandrung yang akan diwisuda juga diminta bernyanyi untuk dinilai oleh senior-seniornya.
Apabila dinilai cukup cakap, barulah penari gandrung baru tersebut diizinkan pentas untuk pertama kali. Saat itu, keluarga penari gandrung yang diwisuda diharuskan membawa sesaji, antara lain pisang, pinang, gula, dan kelapa.
Mbok Temuk mengatakan, Meras Gandrung merupakan bentuk ucapan syukur seorang penari gandrung yang telah lulus. Ia tak hanya lulus dalam menari, tetapi juga menyanyi sebagai seorang sinden.
”Meras adalah ucapan syukur seseorang yang menjadi penari gandrung. Seperti orang sekolah, kelulusan atau wisuda selalu dirayakan dengan gembira dan penuh syukur. Tujuan meras supaya penari gandrung selalu selamat, tidak ada kendala dan bisa lancar saat menari bahkan menjadi orang sukses,” tuturnya.
Tidak mudah
Dalam satu kesempatan, Mbok Temuk pernah menuturkan, mencetak penari yang mahir menari itu mudah. Dalam satu bulan berlatih tari, seorang bisa tampil membawakan tarian gandrung.
Tetapi mencetak seorang Gandrung bukan hal yang mudah. ”Hing akeh hang bisa joged ambi nyanyi. Penari gandrung akeh, tapi hang dadi Gandrung hing akeh (tidak banyak yang bisa menari sambil menyanyi. Penari gandrung banyak, tetapi yang menjadi Gandrung tidak banyak),” ujarnya.
Segala pengorbanan ini akan terbayar ketika penari gandrung pentas, aura mereka akan memancar dan memberi makna dalam setiap gerakan.
Sayangnya dalam tiga tahun terakhir hanya ada sekali upacara Meras Gandrung. Itu pun hanya seorang penari gandrung yang mentas dan dianggap layak menjadi penari gandrung.
Hampir tiap tahun, lebih dari 1.000 pelajar menari gandrung dalam gelaran Gandrung Sewu. Sebagian besar acara pemerintah daerah selalu dibuka dengan tari gandrung. Namun, mereka tidak melalui prosesi Meras Gandrung sehingga hanya disebut penari gandrung belum disebut Gandrung.
Tari gandrung merupakan tari tradisional masyarakat Osing. Tarian ini identik dengan semangat perjuangan dalam memperjuangkan kemerdekaan. Tak heran di setiap kostum penari gandrung pasti ada kain merah putih yang diselipkan.
Ketua Dewan Kesenian Blambangan Syamsudin Hadlawi mengatakan, dalam suatu masa tari gandrung pernah dibawakan oleh penari pria.
”Dalam sebuah perang besar puputan bayu, para pejuang Tanah Air yang tersisa tersebar di hutan-hutan Banyuwangi. Untuk mengumpulkan teman-temannya. Sejumlah pejuang menyamar menjadi penari gandrung atau yang disebut Gandrung Marsan,” tuturnya.
Para pejuang pria tersebut menari dan berkidung dalam bahasa Osing. Cara ini dilakukan untuk mengelabui pasukan Belanda. Tak disangka cara ini berhasil mengumpulkan para pejuang sehingga kekuatan para pejuang Tanah Air bertambah dan berhasil mengusir Belanda dari wilayah Blambangan.
Kini kemerdekaan sudah diraih, penari gandrung terus dicetak untuk mengisi dan mengisahkan perjuangan dalam keindahan tarian. Namun, jangan lupa Gandrung juga harus terus dimunculkan untuk menjaga nilai-nilai kebudayaan masyarakat Osing. Isun Gandrung, Gandrungono Isun…