PEKANBARU, KOMPAS — Sepanjang Indonesia merdeka selama 73 tahun, pemerintah pusat dianggap kurang memperhatikan Provinsi Riau. Riau tidak dipandang istimewa meskipun andil sultan di Riau pada awal kemerdekaan dianggap setara dengan Sultan Yogyakarta yang diberi tempat secara khusus oleh pemerintah.
Itulah persoalan yang mengemuka dalam pertemuan Majelis Bincang Riau: Dari Melayu untuk Indonesia yang bertajuk ”Mengungkap Asa Daerah, Menggugah Kearifan dan Keberpihakan Pusat”. Kegiatan itu diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda Ke-90 di Pekanbaru, Sabtu (27/10/2018).
Ketua Panitia Pelaksana Zulfa Heri mengungkapkan, pertemuan yang dihadiri tokoh masyarakat, pemuda, dan budayawan di Riau itu berniat menggugah pemerintah pusat agar mengucurkan dana yang lebih besar. Sampai saat ini, Riau yang telah menyumbangkan minyak bumi sebanyak 20 miliar barel untuk pemerintah pusat masih memiliki tingkat kemiskinan 8,6 persen dari jumlah penduduk sebanyak 6,5 juta orang.
”Sebagian besar rakyat Riau, yaitu 43,37 persen, masih berpendidikan rendah setingkat sekolah dasar,” kata Zulfa.
Nasrun Effendi, tokoh masyarakat Riau, mengatakan, saat awal Indonesia merdeka, para sultan di Riau yang berdaulat dengan sukarela menyerahkan kekuasaan dan sumber daya kerajaan untuk dikelola Pemerintah Republik Indonesia. Raja yakin, penyerahan kekuasaan kepada Pemerintah RI adalah satu-satunya jalan mempercepat kesejahteraan rakyat.
Dalam sejarah awal kemerdekaan, lanjut Nasrun, penyerahan sumber daya negeri Melayu oleh sultan kepada negara adalah untuk menguasai, bukan untuk memiliki. Negara dapat menguasai sumber daya alam, tetapi bukan untuk memiliki sumber daya yang ada.
Namun, dalam perjalanan waktu, pemerintah justru membuat aturan dan undang-undang yang menguasai seluruh sumber daya yang ada di daerah, termasuk di bekas kerajaan sultan di Riau.
”Riau bukan bekas jajahan Belanda. Ketika sultan (Riau) menyerahkan kedaulatan kepada negara RI, pemerintah hanya menempatkan Riau dalam sebuah provinsi bernama Sumatera Bagian Tengah. Setelah berjuang selama 15 tahun, barulah pemerintah menjadikan Riau sebagai provinsi. Setelah jadi provinsi pun, nasib Riau kurang diperhatikan,” tutur Nasrun.
Setelah berjuang selama 15 tahun, barulah pemerintah menjadikan Riau sebagai provinsi. Setelah jadi provinsi pun, nasib Riau kurang diperhatikan.
”Berdasarkan sejarahnya, Riau semestinya diistimewakan sama seperti Yogyakarta, Aceh, dan Papua. Niat sultan untuk bergabung dengan RI dapat dianggap sebagai kekeliruan. Sekarang ini jangan ulang lagi kekeliruan sultan itu. Kita harus menggugah sekaligus menggugat pemerintah. Judulnya, dari NKRI untuk Riau,” ujar Nasrun.
Mardianto Manan dari Forum Komunikasi Pemuka Rakyat Riau menyebutkan, selama ini Riau sangat santun saat berhadapan dengan pusat. Ia menganggap, karena kesantunan itulah, pusat tidak memperhatikan Riau.
”Mungkin Riau harus lebih degil seperti Aceh dan Papua agar lebih diperhatikan,” kata Mardianto.
Sebaliknya, dalam paparannya, Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Reydonnizar Moenek mengatakan, perhatian pemerintah pusat terhadap Riau sebenarnya sudah sangat bagus. Bantuan pemerintah pusat terhadap APBD Riau masih sangat tinggi.
Pada 2018, misalnya, sumber pendanaan pemerintah pusat terhadap APBD Riau mencapai 56 persen dari total sekitar Rp 10 triliun. Sisanya berasal dari Pendapatan Asli Daerah Riau.
Reydonnizar menambahkan, kesejahteraan masyarakat di daerah juga dipengaruhi oleh tata kelola APBD-nya. Misalnya, obyek belanja barang dan jasa dalam APBD Riau 2018 menyebutkan anggaran untuk masyarakat atau pihak ketiga mencapai Rp 467 miliar, tetapi biaya perjalanan dinas pejabat tidak kalah besar, yaitu Rp 426 miliar.
Adapun biaya belanja modal untuk keperluan konstruksi jalan sebesar Rp 543 miliar. Sementara biaya pengadaan konstruksi jaringan air hanya Rp 113 miliar. Sebaliknya, biaya perjalanan dinas di dalam daerah dan luar daerah mencapai Rp 408 miliar.
Nasrun menyampaikan rasa kecewa terhadap Reydonnizar yang langsung pulang setelah memberikan pemaparan. Menurut Nasrun, kalau saja Reydonnizar ikut dalam diskusi, akan dapat dibahas permasalahan yang mesti diperbaiki Riau.
Profesor Tengku Azharuddin, yang merupakan tim ahli Gubernur Riau terpilih Syamsuar, mengungkapkan, Riau memang masih memerlukan bantuan pusat untuk meningkatkan perekonomian. Pada saat ini, pertumbuhan ekonomi Riau masih berada di urutan ketiga terbawah di Indonesia.
Riau memiliki banyak sumber daya alam, tetapi perusahaan yang mengeksploitasi alam Riau lebih banyak berkantor di Jakarta. Karena itu, pendapatan yang semestinya menjadi hak Riau diambil oleh Jakarta.
Untuk Riau yang lebih baik di masa depan, ujar Azharuddin, semestinya pemerintah dapat mendorong pembangunan industri hilir dari komoditas andalan Riau, yaitu kelapa sawit.
”Riau harus mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pemerintah Riau mesti menambah sarana pendidikan sesuai rasio penduduk. Saat ini daya tampung tamatan SD untuk masuk SMP masih berkisar 60 persen,” kata Azharuddin.