SLEMAN, KOMPAS—Keluarga memiliki peranan penting untuk mencegah aksi ‘klitih’ di Daerah Istimewa Yogyakarta. Aksi kekerasan yang biasa dilakukan oleh remaja itu diduga disebabkan oleh kurangnya rasa empati dari para pelaku kekerasan. Rasa empati itu bisa diajarkan oleh keluarga hingga sistem pendidikan di sekolah.
Kepala Sub Bagian Psikologi Kepolisian Polda DIY Ajun Komisaris Muhtar Efendi menyampaikan, dalam penelitiannya yang dilakukan pada 2016-2017, remaja yang menjadi pelaku klitih itu memiliki masalah keluarga. Pola asuh yang tak tepat turut mendorong mereka menjadi pelaku kekerasan.
“Hampir semua (pelaku) ada masalah dengan keluarga. Baik broken home atau mungkin pola asuh yang tidak sesuai, seperti, kekerasan yang diutamakan dalam keluarga. Itu yang bisa kami temukan,” kata Muhtar, seusai Deklarasi Anti Klitih, di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (FIB UGM), Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (29/10/2018).
Muhtar mengungkapkan, dalam upaya mencegah terjadinya aksi kekerasan remaja itu, keluarga berperan untuk turut membentuk karakter anak yang berempati tinggi. Rasa empati itu harus ditumbuhkan sejak dini melalui pola asuh tertentu oleh orang tua. Aksi kekerasan itu menunjukkan absennya empati dalam diri para remaja itu.
“Anak-anak kurang rasa empatinya. Hal itu bisa didapatkan dalam sistem pendidikan atau pola asuh dalam keluarga. Kenapa empati itu sangat turun? Karena, terbukti, ketika mereka melakukan pemukulan atau pembacokan, tidak ada rasa takut atau bersalah,” kata Muhtar.
Dekan FIB UGM Wening Udasmoro menyatakan, orang tua perlu memberikan perhatian lebih kepada anaknya agar tak terjerumus dalam aksi kekerasan remaja. Keluarga merupakan basis dalam pendidikan karakter anak.
“Ayah dan ibu harus mendekati anak-anak mereka. Sekarang, banyak anak dibiarkan melakukan kegiatan tanpa dipantau. Orang tua, tidak tahu apa yang dilakukan anak-anaknya,” kata Wening.
Wening menambahkan, sistem pendidikan di sekolah harus diperbaiki juga. Ia menilai, selama ini anak-anak hanya dilatih kognitifnya saja, sedangkan empati dan perilaku tidak dilatih. Akibatnya, anak-anak sekadar pintar dalam mata pelajaran, tetapi tidak bijak dalam bersikap.
“Ini yang kemudian menjadi sangat krusial bagi saya. Sistem pendidikan di Indonesia perlu betul-betul ditinjau ulang untuk tidak lagi hafalan. Sekarang ini, anak hanya dilatih kognitifnya, tetapi tidak dengan empatinya atau perilakunya,” kata Wening.
Berdasarkan penyelidikan kepolisian, aksi kekerasan oleh remaja yang disebut klitih itu melibatkan keberadaan geng-geng sekolah. Polda DIY telah memetakan geng-geng tersebut. Total ada 81 geng sekolah, yang terdiri dari 35 geng sekolah di Kota Yogyakarta, 27 geng sekolah di Kabupaten Sleman, 15 geng sekolah di Kabupaten Bantul, serta masing-masing 2 geng sekolah di Kabupaten Kulon Progo dan Gunung Kidul. (Kompas, 17 Maret 2017)
Kepala Polresta Yogyakarta Komisaris Besar Armaini mengatakan, klitih adalah persoalan kompleks. Aparat kepolisian telah berusaha melakukan pencegahan dengan memberikan edukasi kepada siswa untuk tidak melakukan tindak kekerasan itu hingga penegakan hukum untuk memberikan efek jera. Namun, itu saja tidak cukup, karena butuh sinergi dengan lembaga lainnya.
“Tidak bisa hanya dari penegakan hukum saja. Kita harus bersama-sama memerangi klitih. Tentu, bukan hanya penegakan hukum saja caranya. Bagaimana selanjutnya melakukan langkah pencegahan. Kami telah mengambil porsi yang lebih besar untuk pencegahan,” kata Armaini.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta Edy Heri Suasana menyepakati hal itu. Polisi tidak bisa sendirian mencegah aksi kekerasan remaja tersebut, hanya dengan melakukan penegakan hukum Tetapi, semua pihak yang berkaitan dengan pembentukan karakter anak.