Benarlah bahwa saga Ramayana bukan melulu tentang asmara Sri Rama dan Dewi Sita. Namun, epos karya Begawan Walmiki ini memang bercerita tentang perjalanan cinta seluruh tokoh. Bahkan, perang besar dalam wiracarita dari India itu boleh jadi wujud kama antarpihak berbeda kubu.Gelap di panggung Gedung Kesenian Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya, Sabtu (27/10/2018) malam. Di bawah sorot lampu tunggal, dua penari memerankan Rama dan Sita yang sedang memadu kasih. Mereka larut dalam samudra asmara yang bahagia.
Namun, alam menunjukkan keseimbangan. Dalam kebahagiaan cinta, Rama lengah sehingga Sita diculik oleh Rahwana bersosok sepuluh wajah alias Dasamuka. Peristiwa itu terjadi di Hutan Dandaka. Raja Alengka meninggalkan siksa batin hidup Rama yang tak kunjung reda tetapi membangkitkan dendam pembalasan.
Panggung sekejap gulita. Namun, kemudian benderang dengan tembakan sinar bertuliskan SMARATAPA. Inilah cukilan Ramayana karya tim produksi Wayang Kautaman.
Latar panggung pun kembali berubah dengan sinaran gambaran hutan. Dua kera, merah dan putih, bermain dengan saling usil. Kita tahu si kera putih adalah Anoman (Hanuman) yang sakti mandraguna. Anoman kemudian dipilih oleh Rama untuk memastikan keberadaan Sita sekaligus menakar kekuatan kubu Rahwana (Alengka).
Singkat cerita, Anoman berhasil menemukan Sita, menyimpan pesan bagi Rama, bahkan membuat kerusuhan di Alengka dengan membakar istana Rahwana. Inilah peringatan bagi Dasamuka dari Ramawijaya. Perang besar tidak terhindari yang berujung megakorban dari para raksasa Alengka dan ksatria kera Mangliawan.
Di puncak konflik berdarah itu, Rama dan Rahwana mengerahkan seluruh indra. Namun, perkelahian mereka ternyata tak usai-usai. Demi cinta, Sita, atau apa?
Pelestarian
Di Surabaya, SMARATAPA dipentaskan pada Sabtu (27/10) malam dan Minggu (28/10) siang. Pementasan juga dalam rangka memeriahkan peringatan 90 tahun Sumpah Pemuda dari Kongres Pemuda II Pada 28 Oktober 1928 di Jakarta.
Nanang Hape, sutradara, Wayang Kautaman sengaja mengangkat kembali kisah klasik tetapi mencoba menampilkannya secara modern untuk menarik minat masyarakat terhadap seni tradisi. “Generasi muda saat ini seakan tidak tahu apalagi akrab dengan seni tradisi wayang orang,” ujarnya.
Dalam masa kemajuan teknologi saat ini, pelestarian seni tradisional memang tak mudah. Generasi kini menjadi lebih akrab dengan tontonan pada perangkat yang kaya aplikasi. Apresiasi terhadap seni tradisi meredup dan nyaris pudar. Menjaga atau melestarikan seni tradisi seakan pergulatan melawan kemustahilan.
Dalam konteks itulah, Wayang Kautaman mencoba memadukan unsur modernitas ke dalam seni tradisi. Wayang orang tetap memakai pakem sendratari yang mengedepankan kualitas akting atau aksi teatrikal, gerak tari, olah suara, dan musik pengiring. Itu didukung dengan artistik pada kostum dan perangkat pendukung di panggung yakni latar, podium, tata cahaya, dan tata suara.
Untuk pementasan, para pemain yang berjumlah sekitar 60 orang dan pemain musik berlatih selama lima bulan dan intens. Sungguh suatu persiapan yang relatif panjang untuk suatu sendratari. Penata tari Ahmad Dipoyono dan penata musik Blacius Subono tidak ingin main-main dengan kualitas.
Kostum juga mendapat perhatian serius dari Ali Marsudi sebagai penata busana sekaligus pemeran Ramawijaya. Dialah “Arjuna” Indonesia, duta seni yang kerap mewakili negara dalam wayang orang ke luar negeri. Ia tidak melupakan batik tulis dalam kostum yang terlihat sederhana tetapi elegan, akurat, dan detail termasuk dalam tata rias.
Tembakan gambar cahaya tiga dimensi sehingga latar panggung berubah-ubah suasana; hutan, istana, savanna, membuat sendratari di panggung seakan berada dalam kenyataan. Penggambaran menjadi lebih kuat dan realistis. Pementasan menjadi sempurna dengan tata musik yang rapi dan tetap enerjik selama hampir dua jam.
Tampaknya, SMARATAPA yang merupakan gabungan kata asmara dan tapa merupakan pertapaan kecintaan para pembawanya. Mereka yang terlibat dalam Ramayana seperti digubah oleh Walmiki dan kini diintepretasi oleh Wayang Kautaman bergerak atas nama cinta. Legenda asmara diwujudkan dalam laku hidup para pegiat seni yang cinta terhadap kebudayaan dan tidak ingin misalnya wayang orang ditinggalkan.
“SMARATAPA bukanlah tujuan melainkan titik pijak untuk karya-karya selanjutnya,” kata Nanang.
Produser, Retno Irawati Surono menambahkan, seni tradisi layak dilestarikan. Namun, pelestarian tidak bisa berjalan dalam jalur monoton. Pelestarian harus dijiwai semangat kreatif, intensitas, dan totalitas. “Kami berusaha mempertunjukkan wayang orang ala opera yang modern sehingga penonton meyakini seni tradisi memang dan bisa berkelas dan berkualitas,” ujarnya.