MATARAM, KOMPAS - Pemerintah daerah hendaknya mulai menginvestasikan dana anggaran untuk kebencanaan guna mengurangi risiko kerugian infrastruktur serta dampak sosial dan psikologi warga akibat bencana. Gempa Lombok, Nusa Tenggara Barat, dan Palu, Sulawesi Tengah, mengisyaratkan pentingnya memperkecil risiko kerusakan rumah dan fasilitas publik.
”Investasinya berupa seluruh infrastruktur gedung, jalan, dan jembatan harus dipersiapkan yang tahan gempa. Tidak usah besar-besar, katakanlah 1 persen dari APBD untuk kebencanaan,” ujar Fatma Lestari, Koordinator Lapangan Bidang Edukasi Kebencanaan Pulau Lombok Tim Universitas Indonesia.
Fatma mengatakan hal itu sebelum berbicara dalam sesi kedua bertajuk Pelatihan bagi Pimpinan Daerah di Mataram, Lombok, Senin (29/10/2018).
Anggaran kebencanaan, kata Fatma, sangat penting menyusul Indonesia yang rawan akan bencana, seperti banjir, tanah longsor, gunung api meletus, dan gempa-tsunami. Akibat bencana gempa Lombok ataupun gempa-tsunami Palu, sekitar 90 persen rumah dan fasilitas umum rusak.
Jumlah biaya pembangunan infrastruktur dinilai tidak terlalu besar dibandingkan bertambahnya pengangguran, kemiskinan, kerusakan lingkungan, akibat sosial dan psikologis warga terdampak bencana.
Sebelumnya, Ketua Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lombok Barat M Najib mengatakan, soal anggaran yang terbatas dan penanggulangan bencana masih menjadi urusan pilihan, bukan urusan wajib bagi organisasi pemerintah daerah.
”Apa yang bisa kami lakukan dengan Rp 400 juta dari APBD Lombok Barat tiap tahun untuk penanggulangan bencana. Paling-paling dana itu untuk biaya pendidikan, pelatihan, dan simulasi,” katanya.
Masih berdebat
Hal senada dikatakan Direktur Perbaikan Darurat Badan Nasional Penanggulangan Bencana Medi Harlianto. Menurut dia, untuk menekan kerugian material dan korban jiwa perlu dipahami jenis dan akibat bencana.
Terlebih lagi sampai saat ini ilmu pengetahuan, peralatan canggih, dan para ahli belum bisa memperkirakan kapan terjadi gempa.
Oleh sebab itu, yang diperlukan adalah mitigasi seperti mengetahui apa yang perlu dilakukan dan dihindari serta mengetahui cara penyelamatan diri.
”Contohnya Jepang, 80 persen masyarakat dan infrastrukturnya siap menghadapi gempa. Di Indonesia justru terbalik, 80 persen tidak siap menghadapi gempa,” katanya.
Ketidaksiapan di Indonesia terindikasi pada masa tanggap darurat di Lombok, antarpemerintah daerah terdampak bencana berdebat menentukan tempat rapat. Saat ini pun pemerintah daerah masih berkutat dengan pembentukan kelompok masyarakat bagi warga yang rumahnya rusak untuk mendapatkan dana stimulan Rp 50 juta per orang. (RUL)