PONTIANAK, KOMPAS – Sejumlah kaum milenial di Kalimantan Barat mendapat penghargaan dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Mereka menjadi pelopor dalam berbagai gerakan yang positif bagi masyarakat.
Salah satu kaum milenial yang mendapat penghargaan Pemuda Pelopor dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dalam rangka Hari Sumpah Pemuda adalah Modesta Wisa. Ia mendirikan Sekolah Adat Samabue (SAS) di Kecamatan Menjalin, Kabupaten Landak. Wisa pemenang kategori bidang agama, sosial, dan budaya.
Wisa seusai menerima penghargaan, Selasa (30/10/2018), menuturkan, SAS didirikan sejak awal 2016. Sekolah adat itu, sebagai sarana mempertahankan hak masyarakat adat atas hutan dan tanah serta kearifan lokal.
“Hutan kami yang disebut Bukit Samabue, terancam dengan adanya izin pertambangan. Padahal, hutan itu memiliki arti penting bagi kehidupan masyarakat sebagai sumber air dan menjaga keseimbangan alam,” ungkap Wisa.
Perampasan hutan itu terjadi karena Bangsa Indonesia mulai tercerabut dari akarnya, sehingga tidak ada lagi penghargaan terhadap ekosistem. Maka, melalui sekolah adat ini, ia ingin memperkuat kearifan lokal di kalangan muda agar mempertahankan nilai-nilai luhur dalam kearifan lokal. Jika nilai luhur dipertahankan, tidak akan ada perusakan alam.
Melalui sekolah adat itu pula, sebagai sarana memperkuat nilai-nilai kemanusiaan dan kebinekaan. Nilai-nilai luhur menjadi identitas Bangsa Indonesia. Jika manusianya sadar akan identitasnya, tidak akan mudah terpecah oleh perbedaan suku dan agama karena nilai-nilai luhur kebudayaan mengajarkan toleransi.
SAS melalukan penguatan nilai kearifan lokal, salah satunya melalui pelajaran dongeng. Selain itu, tarian tradisional, permainan tradisional, membuat masakan tradisional, dan mempelajari sejarah setempat. Dalam setiap pelajaran ada nilai-nilai yang ditekankan.
“Proses belajar tidak terikat dengan gedung, tetapi langsung datang ke lingkungan dan komunitas dengan bimbingan para relawan. Misalnya, ikut dalam sebuah aktivitas komunitas. Sekarang sudah ada 200 siswa berusia 5-15 tahun di sekolah adat itu. Waktu belajarnya, tergantung kesepakatan agar tidak mengganggu proses belajar sekolah. Kegiatan belajar SAS di luar jam sekolah formal,” kata Wisa.
Pada masa nenek moyang mereka dulu, tidak ada sekolah adat khusus seperti ini untuk belajar adat karena lembaga adat kala itu masih kuat, sehingga proses internalisasi nilai-nilai dalam kearifan lokal berlangsung secara alami. Ditambah lagi, keinginan belajar dari kalangan muda waktu dulu juga kuat. Namun, sekarang perlu wadah khusus seperti SAS untuk belajar adat karena lembaga adat mulai luntur dan beralihnya ketertarikan kaum muda.
Kini sekolah adat yang dirintis Wisa tidak hanya di Landak, tetapi juga ada di Kabupaten Kubu Raya dan juga di Kabupaten Ketapang ada satu sekolah adat. Gerakan yang dilakukan Wisa itu juga menginspirasi kaum milenial lainnya untuk ikut berjuang bersama gerakan yang dilakukan Wisa.
Selain Wisa, kaum milenial lainnya yang mendapat penghargaan sebagai Pemuda Pelopor adalah Dwi Riyan, berasal dari Ketapang. Ia pemenang kategori pengelolaan sumber daya alam, lingkungan, dan pariwisata. Ia mendirikan komunitas yang disebut “Pongoranger Community”. Komunitas itu bergerak dalam bidang pemberdayaan pemuda dalam bidang edukasi lingkungan, khususnya perlindungan satwa liar orangutan.
Gerakan itu didirikannya sejak 2016. Komunitas itu mendampingi salah satu SMP dengan membentuk ekstrakurikuler mengenai lingkungan. Selain itu, ada pula program afternoon chit chat, yakni mengintegrasikan pendidikan lingkungan hidup melalui pembelajaran bahasa Inggris ke sekolah-sekolah dengan para relawan dari luar negeri juga. Sekarang sudah ada 52 orang pengurus komunitas tersebut yang awalnya hanya tiga orang.
Latar belakang ia mendirikan komunitas itu di Ketapang karena di sekolah-sekolah tidak ada pembelajaran tentang alam. Akhirnya, ia mendirikan komunitas itu untuk memfasilitasi pembelajaran tentang lingkungan.