Gizi Buruk Masih Terjadi di Asmat
JAYAPURA, KOMPAS - Kasus gizi buruk masih terjadi di Asmat, Papua. Masih ada anak balita meninggal akibat hal itu. Pendampingan seluruh jajaran pemerintah perlu ditingkatkan.
Kasus gizi buruk masih terjadi di Kabupaten Asmat, Papua, setelah pencabutan status kejadian luar biasa pada Februari 2018. Sepanjang Juli hingga Oktober, empat anak balita di Asmat meninggal akibat gizi buruk yang disertai penyakit lain.
Dokter Spesialis Anak Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Agats Helen Mayasari Subekti, saat dihubungi dari Jayapura, Selasa (30/10/2018), mengungkapkan, keempat anak berusia 2-3 tahun itu berasal dari sejumlah distrik (setingkat kecamatan). Mereka menderita gizi buruk disertai penyakit seperti diare, radang paru, dan malaria.
”Keempat anak balita itu dibawa orangtuanya dalam kondisi sudah parah. Rata-rata mereka meninggal tak sampai sehari menjalani perawatan di instalasi gawat darurat RSUD Agats,” kata Helen.
Ia menuturkan, berat badan anak-anak tersebut hanya 5-6 kilogram. Padahal, idealnya anak berusia 2-3 tahun memiliki berat badan 10-15 kilogram. Selain gizi buruk, ujar Helen, terdapat dua kasus campak yang ditangani tim dokter RSUD Agats dalam empat bulan terakhir.
Satu-satunya dokter spesialis anak di Asmat ini menyatakan, setiap bulan terdapat dua hingga tiga anak balita yang menjalani rawat inap karena gizi buruk. Adapun pasien gizi buruk yang menjalani rawat jalan sejak Juli lalu rata-rata empat anak per bulan.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Asmat Richard Mirino mengakui, tenaga kesehatan kesulitan mendeteksi kasus campak dan gizi buruk di setiap kampung. Hal ini disebabkan kebiasaan warga yang kerap meninggalkan kampung untuk meramu di hutan.
”Pascakejadian luar biasa campak dan gizi buruk, tim medis berupaya maksimal memberikan pelayanan kesehatan di pedalaman. Namun, warga sering membawa anaknya ketika mencari makan dan berburu di hutan,” kata Richard.
Pada periode September 2017-1 Februari 2018, kejadian luar biasa (KLB) campak dan gizi buruk melanda Asmat. Sebanyak 72 anak balita meninggal akibat komplikasi campak disertai gizi buruk dan sejumlah penyakit penyerta seperti tuberkulosis. Total terdapat 646 anak terkena campak dan 144 anak menderita gizi buruk di 19 distrik.
Kepala Bidang Pencegahan Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi Papua Aaron Rumainum mengatakan, masalah gizi buruk di Asmat bukan hanya tanggung jawab tenaga kesehatan. Diperlukan dukungan dari banyak pihak untuk meningkatkan kesadaran masyarakat di pedalaman agar lebih peduli menjaga kesehatan.
”Penanganan masalah kesehatan di Asmat harus melibatkan semua pihak, seperti pemda tingkat kabupaten hingga level kampung,” ujar Aaron.
Tidak paham
Rendahnya pemahaman ibu tentang pola hidup sehat ditengarai menjadi salah satu penyebab gizi buruk pada anak-anak di wilayah pedalaman Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Hal itu seperti dialami bayi Brigel Fredo Rehena dari Desa Maraina.
Pemerhati masalah perempuan dan anak di Maluku, Lies Marantika, menuturkan, banyak ibu di pedalaman belum paham tentang kesehatan ibu dan anak. Sebagai contoh, mereka masih bekerja di kebun dan membawa beban berat saat hamil. Seharusnya, beban itu diambil alih para bapak.
Jarak kehamilan yang terlalu dekat juga berpengaruh terhadap kesehatan ibu dan bayi. Ada ibu yang melahirkan dua kali dalam kurun waktu kurang dari tiga tahun. ”Karena itu, warga perlu pendampingan dari pemerintah,” kata Lies.
Ia meyakini, dengan potensi alam yang dimiliki, masyarakat di pedalaman dapat hidup sehat. Ada ubi, sagu, hewan buruan, hewan peliharaan, juga ikan, belut, serta udang di sungai.
Semua itu makanan bergizi. Lies pernah mendapati ada keluarga yang anaknya kurang gizi, padahal di rumah mereka banyak ayam peliharaan.
Jusnick Anamofa, pendamping keluarga Brigel, menuturkan, kemiskinan menjadi faktor lain. Kendati kaya dengan potensi alam, warga kesulitan untuk menjual ke pasar lantaran akses jalan yang sulit.
Infrastruktur menjadi kunci dalam menyelesaikan berbagai masalah di pedalaman, termasuk kesehatan. (FLO/FRN)