Jalan 36 Kilometer Dibuka untuk 12 Desa
PEKANBARU, KOMPAS - Menunggu berpuluh-puluh tahun, warga pedalaman akhirnya segera menikmati jalan tembus sepanjang 36 kilometer menembus kawasan konservasi Bukit Rimbang Baling.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akhirnya mengizinkan masyarakat di sepanjang aliran Sungai Subayang, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Riau, membuka akses jalan itu.
Jalur yang disebut jalan interpretasi itu bakal menembus 12 desa yang selama ini hanya bisa dijangkau transportasi air. ”Bukan jalan raya. Lebar jalan hanya 1 meter, tanpa beton dan aspal. Fungsinya mengurangi biaya transportasi masyarakat yang mahal lewat air,” kata Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau Suharyono di sela diskusi bertema ”Menjawab Tantangan Pengelolaan Terintegrasi Rimbang Baling” di Pekanbaru, Selasa (30/10/2018).
Sungai Subayang tidak dapat dilewati saat puncak musim hujan dan kemarau. Pernah ada warga sakit tidak tertolong karena sungai tidak dapat dilalui. Nantinya, jalan itu dapat difungsikan sebagai jalur evakuasi sekaligus jalur wisata.
Sebelum KLHK memberi izin akses jalan, kata Suharyono, pihaknya telah bertemu para pemuka masyarakat, kepala desa, dan Pemerintah Kabupaten Kampar. Disepakati pengawasan dan tanggung jawab penggunaan jalan sepenuhnya dibebankan warga dan dibiayai pemda setempat. ”Warga dapat membentuk polisi adat untuk menjaga jalan itu,” kata Suharyono.
Ketua Forum Masyarakat Subayang Bio Datuk Alamrai mengatakan, permohonan membuka akses jalan di SM Bukit Rimbang Baling sudah disampaikan warga berpuluh tahun kepada pemerintah. Namun, tidak pernah terkabul.
”Selama ini ongkos transportasi kami sangat mahal. Semua bahan pokok pasti lebih tinggi karena harga sewa boat sangat mahal. Kami sangat berterima kasih atas izin penggunaan jalan interpretasi itu. Kami pasti akan menjaganya,” kata Alamrai.
Staf Ahli Bupati Kampar Suhelmi mengatakan, akses jalan di dalam SM Bukit Rimbang Baling akan membuka transportasi daerah paling terisolasi di Kabupaten Kampar. Jalan itu nantinya akan dapat mencapai Desa Pangkalan Serai di perbatasan Sumatera Barat. ”Selama ini harga semen di Desa Pangkalan Serai tiga kali lipat dari harga di pasar Kampar,” katanya.
Kawasan konservasi
Suaka Margasatwa Bukit Rimbang dan Bukit Baling yang biasa disebut Rimbang Baling merupakan kawasan hutan konservasi seluas 136.000 hektar di Kabupaten Kampar dan Kabupaten Kuantan Singingi di Riau serta Kabupaten Sijunjung di Sumatera Barat.
Hutan itu relatif terjaga jika dibandingkan dengan hutan-hutan lain di Riau. Hutan itu dihuni ratusan jenis satwa dilindungi, termasuk harimau dan kucing emas.
Tegakan hutan Rimbang Baling juga masih sangat bagus meskipun pencurian kayu yang dialirkan lewat Sungai Subayang masih berlangsung. Keasrian hutan, salah satunya disebabkan akses jalan darat di hutan itu tidak ada.
Satu-satunya jalan hanya melewati alur Sungai Subayang yang berbatu-batu.
Pada puncak musim hujan, arus sungai terlalu deras. Sebaliknya, saat puncak musim kemarau, boat atau piyau tidak bisa melintasi badan sungai.
Selama ini, warga yang bermukim di Sungai Subayang memiliki kearifan lokal tradisi mencokau. Ninik mamak atau tetua adat menetapkan lubuk larangan di sungai yang ikannya tidak boleh diambil warga. Ikan hanya boleh dipanen seizin ninik mamak pada musim kemarau dengan membendung sungai dan menangkapnya beramai-ramai.
Menurut Suharyono, pengelolaan kawasan konservasi para era masa kini memang tidak lagi sama. Pada masa lalu, konservasi seolah hanya kewajiban pemerintah pusat. Selain itu, tidak diperbolehkan ada aktivitas masyarakat di dalamnya. Kini, warga adalah subyek dari konservasi. (SAH)