Pilihan Sulit Bertahan di Tanah Bencana
Didera bencana beberapa kali, sebagian penyintas di Sulawesi Tengah perlahan belajar hidup di tanah bahaya. Peran serta pemerintah bakal membuat mereka semakin tangguh.
Ingatan Man (31), lelaki yang minta namanya disingkat, kembali ke banjir bandang sembilan tahun lalu. Saat itu, air sungai meluap bercampur batu, tanah, hingga batang pohon besar dari Gunung Baruga yang menerjang permukiman.
”Dia punya air mengamuk. Beeeu…. Baku pukul ke sana sini,” ucap Man, ditemui di rumahnya di Desa Poi, Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi, Rabu (24/10/2018) siang.
Tidak ada korban jiwa. Namun, kejadian itu tak ia lupakan. Meskipun begitu, warga kembali membangun rumah di tempat yang sama, di bawah lereng Baruga yang sama.
Tahun ini, pilihan berisiko itu kembali menghadirkan cemas. Gempa bermagnitudo M7,4 yang melanda Sulteng adalah pemicunya. Guncangannya memicu rekahan tanah di Gunung Baruga.
Kepala Stasiun Geofisika Kelas I Palu Cahyo Nugroho menuturkan, gempa memicu luruhnya lahan sekitar 60 hektar di permukaan Gunung Baruga. Seluruh longsoran menumpuk sekitar 1 kilometer dari jalan desa.
Jika hujan lebat turun, material itu sangat mudah turun ke arah Desa Poi. Itu hanya 1 kilometer lagi. Mengantisipasi itu, warga Poi diminta mengungsi. Sebanyak 123 tenda didirikan di tanah lapang, rumah sementara 1.100 jiwa.
Dirundung takut, Man merasa serba salah hidup di tengah ancaman bencana. Di satu sisi, ia menikmati tanah subur dengan air melimpah. Di sisi lain, ia sadar hidup bertaruh nyawa.
”Saya jelas mau pindah dari sini. Namun, pemerintah harus menjamin bakal seperti apa hidup saya di daerah lain kelak,” kata dia.
Hal itu diamini Veri (24), warga Poi lainnya. Berpindah ke tempat baru berarti mencari lahan pekerjaan baru. Masalahnya, pindah belum tentu menjanjikan kehidupan lebih baik. Kota Palu yang sering jadi harapan menata hidup bagi sebagian warga Sulteng kini remuk dihantam gempa, tsunami, hingga likuefaksi.
Di tengah kondisi itu, bertahan menjadi pilihan warga. Bersanding dengan bencana. Hidup harus berlanjut meski nyawa taruhannya.
Bersanding bahaya dengan cara berbeda juga ditempuh Jerman Utu Toke (40), warga Desa Gimpu, Kecamatan Kulawi Selatan, Sigi. Tanah longsor di Gunung Potong yang memutus jalan poros Palu-Kulawi ditembusnya begitu saja. Urusan nyawa jadi nomor sekian. Lebih penting menemukan cara mencukupi makan keluarganya.
Jerman mengatakan, longsor membuat akses transportasi juga terhenti. Bantuan logistik bagi warga Kulawi yang juga terdampak gempa hanya bisa lewat helikopter. Hanya membawa logistik membuat warga berebut demi sebungkus mi instan atau sebotol air mineral.
”Jika nekat membeli, harga barang-barang naik dua kali lipat, mulai dari mi instan hingga bensin. Daripada begitu, saya nekat beli dan kumpul logistik dari saudara di Kota Palu,” katanya.
Bukan perkara mudah menjangkau Palu. Jaraknya sekitar 90 kilometer. Longsor membuatnya harus berhati-hati melintasi jalanan. Lebar jalan pun berkurang dari semula 5 meter menjadi kurang dari 2 meter. Jerman lebih banyak berdoa sepanjang perjalanan, berharap tebing tanah rapuh tidak ambrol saat ia di bawahnya.
Saat ditemui Kompas, ia membawa tabung gas 3 kilogram yang ia taruh di sepeda motornya, di antara paha. Sebuah karung kuning di bangku belakang diisi beras, minyak, ikan sarden kalengan, mi instan, dan lainnya.
Jerman sebenarnya enggan melakukan itu. Namun, ia khawatir kelaparan apabila terus berpangku tangan di pengungsian.
”Memang menakutkan, tapi kalau takut terus, anak istri saya tidak makan. Mau tidak mau, saya harus ke Palu cari kebutuhan. Tidak mungkin hanya mengandalkan bantuan. Kami mau dipindahkan, tapi pemerintah harus jamin kami bisa makan,” ujar petani dan pekebun kopi itu.
Gerakan tanah
Berdasar peta prakiraan wilayah gerakan tanah Oktober 2018 di Provinsi Sulawesi Tengah yang dirilis Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, hampir semua kecamatan di Kabupaten Sigi berpotensi longsor skala menengah-tinggi. Beberapa kecamatan, di antaranya Dolo Selatan, Kulawi, Kulawi Selatan, Lindu, dan Pipikoro.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Sigi Asrul Repadjori mengatakan, terkait ancaman longsor dan banjir bandang di Desa Poi, ia berharap warga kembali ke sana setelah aman dari ancaman longsor. ”Kalau memang tidak bisa untuk seterusnya, pasti kami upayakan mencari lokasi permukiman baru,” katanya.
Namun, kebijakan itu mesti mengikuti kajian dan rekomendasi lembaga yang kompeten. Menurut Asrul, kajian untuk jangka panjang belum bisa diselenggarakan dalam waktu dekat. Itu karena belum masuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun ini. Paling cepat, diadakan tahun 2019.
Mengenai poros Palu-Kulawi, jalan itu kewenangan Pemprov Sulteng. Asrul berharap jalan itu jadi jalan nasional karena bisa menghubungkan Kabupaten Sigi dengan Kabupaten Luwu Utara. Pemerintah Kabupaten Sigi sedang mengerjakan ruas jalan dari Desa Kalamanta, Kecamatan Pipikoro, menuju perbatasan dengan Kecamatan Seko, Luwu Utara.
Jika ruas jalan itu jadi jalan nasional dan dibiayai pemerintah pusat, dana pembangunan diyakini mengucur lebih deras dibandingkan jika mengandalkan dana dari Kabupaten Sigi. Salah satunya untuk proyek pelebaran jalan yang bakal mengepras sebagian tubuh tebing-tebing di sisi jalan tersebut.
Kini, memasuki masa transisi pemulihan bencana, kerja pemerintah daerah diuji. Tidak sedikit pengungsi yang tidak betah di pengungsian lalu memilih kembali ke daerah bencana.
Gempa, tsunami, dan likuefaksi yang menewaskan ribuan orang di Palu, Donggala, dan Sigi semestinya jadi pelajaran serius. Lama membiarkan warga bersanding dengan risiko bencana sangatlah berbahaya.
Jangan ada lagi korban manusia akibat pembiaran hidup di tanah bencana. Hanya kebijakan berani, cepat, dan tepat yang akan menyelamatkan. (Johanes Galuh/Angger Putranto)