JAYAPURA, KOMPAS - Gizi buruk disertai komplikasi penyakit lain yang menyerang anak balita di Kabupaten Asmat, Papua, diduga karena minimnya partisipasi orangtua dalam layanan kesehatan yang diselenggarakan pemerintah daerah. Akibatnya, ibu dan anak tidak mendapatkan pemeriksaan kesehatan, makanan bergizi, serta sosialisasi tentang pola hidup sehat.
Kepala Bagian Humas Pemerintah Kabupaten Asmat Reza Baadila menyatakan hal itu, saat dihubungi dari Jayapura, Rabu (31/10/2018). Menurut Reza, Pemkab Asmat telah mengintensifkan pola layanan puskesmas keliling setelah kejadian luar biasa (KLB) campak dan gizi buruk melanda Asmat pada September 2017-Februari 2018.
Kegiatan puskesmas keliling berupa pemeriksaan kesehatan, pemberian imunisasi, serta sosialisasi pola hidup sehat. ”Sebelumnya, satu kegiatan puskesmas keliling mencakup dua hingga tiga kampung. Saat ini, satu kegiatan puskesmas keliling difokuskan untuk satu kampung agar lebih efektif mendeteksi masalah kesehatan,” kata Reza.
Selain itu, Pemkab Asmat juga melaksanakan program 1.000 hari pertama kehidupan bagi ibu hamil dan menyusui di semua puskesmas. Kegiatan ini berupa pemberian makanan bergizi serta vitamin bagi ibu dan anaknya.
Namun, kata Reza, kebanyakan warga tidak berada di kampung saat layanan digelar. ”Mereka membawa anak tinggal di bivak (pondok) di hutan selama berbulan-bulan untuk berburu dan mencari makanan,” ujarnya.
Kondisi tersebut membuat tenaga kesehatan sulit menjangkau warga. ”Karena itu, masih terdapat sejumlah kasus gizi buruk, tapi tidak separah seperti KLB beberapa waktu lalu,” ujarnya.
Dokter Spesialis Anak Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Agats Helen Mayasari Subekti mengungkapkan, saat ini ada empat anak dengan gizi buruk disertai komplikasi radang paru dan patah tulang yang dirawat di RSUD Agats. Dalam periode Juli-Oktober 2018, ada empat anak balita dengan gizi buruk disertai komplikasi penyakit serius meninggal.
”Penyebab anak-anak menderita gizi buruk disertai penyakit komplikasi karena pola asuh orangtua yang salah. Anak-anak jarang mendapat ASI, minim pola hidup sehat, dan terpapar asap rokok orangtuanya. Orangtua tak mau anaknya dirawat dalam waktu lama di puskesmas atau rumah sakit,” ujar Helen.
Uskup Agats Mgr Aloysius Murwito OFM mengatakan, Pemkab Asmat telah berperan signifikan menekan kasus gizi buruk. Hal itu dilakukan dengan melibatkan lembaga keagamaan untuk menyosialisasikan layanan kesehatan kepada masyarakat setempat.
”Kami bersama Pemkab Asmat dan tenaga kesehatan tak boleh lengah meskipun kasus gizi buruk dan campak telah berkurang. Kami dari Keuskupan Agats terus menjalankan kegiatan pelayanan kesehatan dan sosialisasi bagi masyarakat secara rutin,” kata Aloysius.
Ia berharap pemerintah pusat segera merealisasikan program penyediaan tenaga dokter dan infrastruktur transportasi demi mencegah KLB campak dan gizi buruk terulang kembali. Kedua hal itu sangat penting untuk memudahkan warga mengakses layanan kesehatan.
Hingga saat ini, dari 16 puskesmas di Asmat, baru sembilan puskesmas yang memiliki tenaga dokter. Sisanya hanya diisi tenaga bidan dan perawat. Sampai saat ini, rencana PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan untuk mengoperasikan layanan feri yang menjangkau daerah-daerah pedalaman di Asmat belum terealisasi. (FLO)