Penyuap Bupati Tulungagung dan Wali Kota Blitar Jadi ”Justice Collaborator”
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·3 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Susilo Prabowo, terdakwa penyuap Bupati Tulungagung Sahri Mulyo dan Wali Kota Blitar Samanhudi Anwar, dijatuhi hukuman pidana berupa 2 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan.
Hukuman itu merupakan bentuk keringanan karena terdakwa dinyatakan layak bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kejahatan yang terstruktur.
Vonis dijatuhkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya dalam sidang yang dipimpin majelis hakim yang diketuai Agus Hamzah, Kamis (1/11/2018). Majelis hakim menilai Susilo terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan sebagaimana dakwaan primer, yakni Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto Pasal 65 KUHP.
”Terdakwa terbukti memberikan uang total Rp 10,6 miliar sebagai kompensasi dari proyek-proyek yang dikerjakan oleh perusahaannya,” ujar Agus Hamzah.
Susilo merupakan pengusaha konstruksi yang terkena operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam perkara suap terhadap Bupati Tulungagung Sahri Mulyo dan Wali Kota Blitar Samanhudi Anwar, 6 Juni 2018. Dalam operasi itu, disita uang tunai Rp 2,5 miliar.
Uang Rp 2,5 miliar itu rinciannya sebanyak Rp 1 miliar diserahkan kepada Sahri Mulyo, sedangkan Rp 1,5 miliar diserahkan kepada Samanhudi Anwar. Uang Rp 1 miliar itu untuk memenuhi permintaan Sahri yang tengah mencalonkan diri sebagai kepala daerah periode 2018-2023.
Total uang yang diserahkan kepada Sahri sebesar Rp 2,5 miliar dengan rincian penyerahan tahap pertama Rp 1 miliar, tahap kedua Rp 500 juta, dan tahap ketiga Rp 1 miliar. Namun, saat hendak melakukan penyerahan tahap ketiga, perantara suap Agung Prayitno ditangkap oleh KPK.
Jumlah suap yang diberikan Susilo sejak 2016 hingga 2018 sebanyak Rp 10,6 miliar. Selain kepada Sahri Mulyo dan Samanhudi Anwar, terdakwa juga memberikan uang kepada Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang Kabupaten Tulungagung Sutrisno. Uang itu merupakan kompensasi terhadap proyek yang dimenangi oleh perusahaan terdakwa.
Modus korupsinya, terdakwa bersama dengan pengusaha Soni Sandra dan Sutrisno membuat kesepakatan untuk mengatur agar proyek pembangunan infrastruktur dan pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Tulungagung dimenangi oleh perusahaan mereka. Susilo dan Soni sepakat memberikan imbalan sebagai kompensasinya. Modus serupa dilakukan untuk proyek infrastruktur yang didanai oleh APBD Kota Blitar dengan nilai yang berbeda.
Dalam amar putusannya, majelis hakim mengatakan, hal yang memberatkan terdakwa tidak mendukung upaya pemerintah dalam memberantas korupsi. Adapun hal yang meringankan antara lain terdakwa berkata jujur, belum pernah dihukum, dan telah berjasa dalam pembangunan infrastruktur di Tulungagung.
Majelis hakim juga berpendapat, terdakwa layak mendapatkan status justice collaborator karena memenuhi syarat bukan pelaku utama atau auktor intelektualis. Perusahaan terdakwa merupakan satu-satunya yang memenuhi syarat untuk mengerjakan proyek fisik di Kabupaten Tulungagung dan Blitar. Tanpa menyuap, perusahaan terdakwa sudah mampu memenangkan tender.
”Setelah berstatus justice collaborator, terdakwa harus memberikan keterangan yang signifikan kepada penegak hukum pada saat persidangan,” kata Agus Hamzah.
Menanggapi putusan majelis hakim, baik jaksa KPK Dody Sukmana maupun terdakwa Susilo bersama kuasa hukumnya, Agung Setiawan, menyatakan pikir-pikir.