PALU, KOMPAS - Minimnya ketersediaan bahan pangan pascabencana memicu tingginya inflasi di Sulawesi Tengah pada Oktober 2018, yakni 22,7 persen. Angka itu menjadi yang tertinggi secara nasional.
Badan Pusat Statistik (BPS) Sulteng merilis data inflasi yang didasarkan pada indeks harga konsumen di pasar tradisional Masomba dan Pasar Inpres Manonda, Kota Palu. Inflasi itu jauh lebih tinggi daripada inflasi nasional 0,28 persen dan menjadi yang tertinggi se-Indonesia.
Bencana membuat kondisi perekonomian tidak normal. Padahal, selama dua tahun terakhir pada Oktober, Sulteng justru mengalami deflasi. Pada 2016, deflasi mencapai 0,95 persen dan 1,31 persen setahun kemudian.
”Deflasi biasanya terjadi karena panen raya padi dan hortikultura. Oktober kali ini, bencana memicu inflasi,” ujar Kepala Bidang Statistik Distribusi BPS Sulteng Gamal Abdul Nasser di Palu, Kamis (1/11/2018).
Komoditas penyumbang inflasi ialah bahan pangan, makanan jadi, dan tiket pesawat. Putusnya jalur distribusi dari desa ke kota serta terbatasnya jumlah pedagang yang beraktivitas juga menyebabkan inflasi.
Nasser mengatakan, jumlah pedagang yang masih terbatas akibat khawatir terjadi gempa susulan membuat persediaan bahan pangan terbatas. Hal itu diperburuk komoditas pangan dari luar Palu yang sempat sulit masuk karena jalur distribusi diprioritaskan untuk bantuan bencana.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Sulteng Miyono mengatakan, untuk menekan inflasi dalam jangka pendek, tim pengendalian inflasi daerah mesti menjaga kestabilan stok pangan di Palu dan daerah sekitarnya yang terdampak bencana.
Menurut Miyono, Perum Bulog sudah berupaya menekannya lewat ekspansi pasar. Pihaknya menyediakan beras, gula, dan minyak goreng dengan harga terjangkau. Beras, contohnya, dijual Rp 8.500 per kilogram atau jauh lebih murah dibandingkan harga pasaran yang mencapai Rp 10.000 per kg.
Untuk jangka menengah hingga panjang, Miyono merekomendasikan perbaikan segera infrastruktur pertanian, termasuk irigasi yang rusak karena bencana. Selain itu, guna menekan potensi bertambahnya pengangguran akibat bencana, pemerintah juga perlu membuat proyek-proyek padat karya sehingga mampu menyerap banyak tenaga kerja.
”Di antaranya proyek perbaikan jalan dan pembangunan hunian sementara. Dengan demikian, warga yang menjadi penyintas bencana bisa terlibat, mendapatkan upah, dan punya daya beli lebih baik,” ujarnya.
Kenaikan harga
Harga sejumlah komoditas di Palu masih tinggi. Hal itu dipicu kelangkaan stok akibat ketersediaannya menipis sehingga bahan pangan dipasok dari daerah-daerah yang lebih jauh. Mening (47), pedagang ayam potong, menjual ayam berukuran besar Rp 60.000 per ekor.
Harga itu naik dibandingkan sebelum bencana, Rp 45.000-Rp 50.000 per ekor. Kondisi itu disebabkan stok ayam harus didatangkan dari Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi Selatan.
Harga beras juga melonjak. Di Kios Dhea Pratiwi, harga beras jenis kepala naik Rp 1.000 per kg, dari Rp 10.000 menjadi Rp 11.000 per kg. Nurdiana (45), pedagang beras, menuturkan, stok beras memang masih rendah di tengah permintaan konsumen yang mulai tinggi. (JOG/GER)