Jangan Memaksakan Pembangunan Pelabuhan Khusus di Paciran
Oleh
AGNES SWETTA PANDIA
·3 menit baca
LAMONGAN, KOMPAS — Konflik pemanfaatan ruang laut di sejumlah daerah pesisir di Jawa Timur tidak akan terjadi jika Pemerintah Provinsi Jawa Timur tegas menyikapinya. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah membawa perubahan kewenangan di tangan pemprov, salah satunya terkait pengelolaan ruang laut sampai 12 mil di luar minyak dan gas bumi.
Penerbitan izin dan pemanfaatan ruang laut di bawah 12 mil di luar minyak dan gas bumi menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Sebelum ada undang-undang tersebut, kewenangan pemprov hanya 4-12 mil, sedangkan 0-4 milik milik pemerintah kabupaten/kota.
Pemprov Jatim, kata Ketua Umum Forum Masyarakat Kelautan, Maritim, dan Perikanan Oki Lukito, di Lamongan, Minggu (2/11/2018), juga memiliki Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Tahun 2018-2038 . Perda ini ditetapkan dengan tujuan untuk dijadikan pedoman dalam mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Jawa Timur.
Perda tersebut menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan. Artinya, perencanaan yang memuat kegiatan boleh atau tidak dilakukan, serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku itu, Pemprov Jatim diminta tegas membatalkan izin pemanfaatan ruang di Paciran, Lamongan, yang akan dijadikan terminal khusus oleh perusahaan galangan kapal sesuai SK Menhub No Kp 645 Tahun 2017 tertanggal 12 Juli 2017 berupa penetapan lokasi seluas 843.000 meter persegi.
Pembangunan terminal khusus tersebut tidak pernah diusulkan dalam dengar pendapat atau public hearing sebanyak 6 kali dan tidak pernah muncul dalam Forum Group Discussion (tiga kali) sejak pembahasan dan penyusunan draf Perda RZWP3K Tahun 2014.
Sebelumnya, kata Oki Lukito, Pemprov Jatim telah mengeluarkan izin pemanfaatan ruang (IPR) seluas 19.900 meter persegi untuk kegiatan tersebut pada 12 Mei 2016. Keputusan Menteri Perhubungan tersebut sangat disesalkan karena tidak sinkron dengan keputusan Gubernur Jawa Timur yang mengacu pada Perda Nomor 1 Tahun 2018. Terbitnya ketetapan dari Kementerian Perhubungan tersebut akan berdampak secara ekonomi dan sosial bagi masyarakat pesisir pantai utara (pantura) Jawa Timur serta pemangku kepentingan lainnya.
Alasannya, kata Oki Lukito, adanya reklamasi akan merusak ekosistem pesisir dan laut di wilayah Paciran. Dampaknya pada penurunan hasil tangkapan dan mengurangi penghasilan nelayan Lamongan, Gresik, dan Tuban yang selama ini menjadikan wilayah perairan tersebut sebagai fishing ground atau daerah tangkapan. Wilayah Paciran juga termasuk zona konservasi dan merupakan daerah melintas ikan pelagis.
Alasan lain, kegiatan di lokasi yang ditetapkan sebagai terminal khusus tersebut adalah daerah ranjau milik TNI AL, yang sangat berbahaya dan terlarang bagi kegiatan apa pun sebagaimana tercantum dalam dokumen Perda RZWP3 tahun 2018-2038.
Pengguna alur pelayaran, di antaranya kapal penyeberangan dan armada pelayaran rakyat di wilayah tersebut, akan terganggu aktivitasnya, mengingat di wilayah tersebut merupakan areal Pelabuhan Penyeberangan Paciran yang dikelola oleh Pemprov Jatim dan ASDP serta melayani trayek ke sejumlah daerah, antara lain ke Pulau Bawean di Gresik dan pulau pulau kecil lain.
Untuk itu, Pemprov Jatim dan Kementerian Perhubungan diminta menetapkan lokasi lain untuk aktivitas tersebut yang tidak mengganggu perekonomian masyarakat pesisir. Sebab, masih banyak lokasi yang memungkinkan untuk pembangunan terminal khusus, seperti di Banyuwangi, Probolinggo, dan Bangkalan. Di tiga daerah ini, selama ini, sudah ada pelabuhan, tetapi tidak dimanfaatkan secara maksimal, bahkan cenderung telantar.