Meretas Regenerasi Gerabah Klipoh
Di kawasan wisata Candi Borobudur ternyata masih ditemui perajin gerabah Dusun Klipoh. Bank Tabungan Negara ikut berupaya membangkitkan minat seni tradisi itu dengan label Balkondes Pottery Academy BTN Karanganyar.
Jiwa seni sulit dipaksakan tumbuh dalam diri sembarang orang. Namun, hal itu tak menghalangi tekad warga Dusun Klipoh, Desa Karanganyar, Kecamatan Borobudur, Jawa Tengah, mewariskan tradisi pembuatan gerabah ke anak-cucu. Bagi perajin tersisa dua pilihan, regenerasi atau mati.
Supoyo, ketua kelompok perajin Bina Karya Dusun Klipoh, Karanganyar, mengatakan, pada era 1990-an, aktivitas membuat gerabah ada pada hampir setiap rumah di dusun yang berjarak sekitar 3 kilometer sebelah barat Candi Borobudur tersebut. Saat itu terdapat lebih dari 150 perajin.
Namun, seiring waktu, jumlah perajin gerabah terus menyusut. Kini tersisa sekitar 90 orang saja. Itu pun hampir semuanya kalangan lanjut usia. Jadi, sekalipun Dusun Klipoh masih berlabel sentra gerabah, aktivitas pembuatannya tak sejamak dulu. Tak mudah mendapatinya di setiap rumah.
Kini, dari 90 perajin gerabah, jumlah perajin yang masih berusia 20-30 tahun hanya sekitar 10 orang. Sebanyak 80 orang sisanya berusia lebih dari 35 tahun dan kebanyakan berusia lebih dari 60 tahun.
Supoyo mengakui, setiap perajin belum tentu melahirkan keturunan perajin baru. ”Anak-anak perajin sekarang ini belum tentu meneruskan pekerjaan orangtuanya. Banyak dari mereka lebih memilih menjadi pedagang atau pekerja pabrik,” ujarnya, Jumat (2/11/2018).
Pelatihan
Kondisi ini jelas merisaukan masyarakat perajin. Beruntung, hal ini juga diperhatikan banyak pihak, mulai dari aparat pemerintahan setempat hingga Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO).
Menyikapi situasi itu, pelatihan pembuatan gerabah mulai dilakukan. Sebagian pelatihan dilakukan atas usulan perajin dan sebagian lain inisiatif pihak luar.
Satu kali pelatihan diikuti 20-25 orang muda di Dusun Klipoh. Namun, upaya tersebut tak sepenuhnya bisa diandalkan sebagai program melahirkan perajin-perajin baru.
Dari 20-25 peserta pelatihan, biasanya hanya satu atau dua orang yang eksis dan terus melanjutkan dengan berprofesi sebagai perajin gerabah. Namun, menurut Supoyo, hal itu sudah cukup menggembirakan.
”Kami cukup bersyukur. Tambahan satu atau dua perajin baru per tahun itu cukup menandakan tradisi membuat gerabah belum mati,” ujarnya.
Para perajin juga berinisiatif sendiri. Demi menumbuhkan perajin muda, Supoyo, misalnya, getol mencermati kedatangan warga pendatang untuk diajak belajar membuat gerabah. Hal ini dilakukannya antara lain pada menantu-menantu tetangganya dari luar kota atau bahkan luar Jawa.
”Pokoknya, siapa saja yang kelihatan belum sering bersentuhan dengan tanah langsung saya ajak membuat gerabah,” ujarnya.
Tradisi membuat gerabah adalah tradisi yang berlangsung turun-temurun dan tidak diketahui secara jelas dimulai sejak kapan. Merunut sejarah tradisinya, semula kerajinan gerabah hanya ditekuni oleh perempuan, sedangkan laki-laki hanya bertugas memasarkan.
Tradisi yang banyak dilakoni perempuan ini pada akhirnya sama sekali tidak menarik minat kalangan muda laki-laki. Kaum ibu pun juga merasa tidak perlu mewariskan keterampilannya kepada putranya.
Ambar Sariro (20), salah satu pemuda di Dusun Klipoh, mengatakan, sekalipun ibunya hingga kini masih membuat gerabah, dirinya sama sekali tidak tahu bagaimana membuat produk kerajinan tersebut. ”Ibu tidak pernah mengajari dan saya pun juga tidak berminat untuk membuatnya,” ujarnya.
Dia tidak berminat karena pekerjaan membuat gerabah dianggap tidak prospektif untuk mendukung hidup. Harga gerabah hanya berkisar Rp 1.000-Rp 5.000 per buah.
Hal serupa juga diungkapkan Miftakhul Fauzi (21). Di keluarganya sendiri, kerajinan membuat gerabah dinilai tidak layak untuk dilanjutkan. Dengan persepsi tersebut, maka lebih dari 10 tahun lalu, ruangan yang semula dipakai ibunya untuk membuat gerabah diubah untuk menjadi tambahan kamar tidur.
Balkondes
Menyikapi kondisi ini, Bank Tabungan Negara (BTN) sebagai BUMN pendamping Balkondes Karanganyar, ikut berupaya membangkitkan minat seni tradisi membuat gerabah.
Dengan label Balkondes Pottery Academy BTN Karanganyar, mereka menawarkan program pelatihan membuat gerabah bagi turis dan siapa pun yang berminat. Balkondes, balai ekonomi desa, kini menjadi tempat kegiatan pemberdayaan ekonomi desa.
Reza Adi, penanggung jawab (PIC) Balkondes Karanganyar, mengatakan, di balkondes tersebut, pengunjung akan mendapatkan pengalaman membuat gerabah dengan cara tradisional dipandu para perajin setempat.
Tak hanya itu, pengunjung juga bisa mewarnai gerabah cetak yang bisa dibawa pulang sebagai cendera mata khas Desa Karanganyar.
Untuk lebih menyelami kehidupan perajin, para wisatawan juga bisa menikmati suasana desa dengan sepeda kuno (ontel). Mereka diajak mengunjungi tempat-tempat produksi gerabah tradisional dan potensi lainnya, seperti kerajinan ukir bambu, tempat produksi tahu tradisional, dan menikmati keindahan alam desa.
Menurut Reza, Balkondes Pottery Academy BTN Karanganyar juga membuka galeri seni (art shop) yang memajang semua produk seni kampung, mulai dari gerabah, ukiran bambu, hingga makanan tradisional.
Ke depan, lanjut Reza, Balkondes Karanganyar akan digerakkan menjadi etalase kerajinan gerabah Klipoh. Selain memajang aneka produk kerajinan gerabah, 90 perajin gerabah Klipoh, secara bergantian, akan difasilitasi untuk melakukan aktivitas membuat dan melayani pesanan gerabah langsung di Balkondes Karanganyar.
Tentu saja, di era modern kini, produk-produk tradisional seperti gerabah mesti diberi sentuhan inovasi dan kreativitas agar menjadi barang yang lebih bernilai ekonomi. Peningkatan nilai tambah tersebut diharapkan kembali menarik minat generasi muda Klipoh merawat kearifan lokal warisan leluhurnya. (Regina Rukmorini/Gregorius M Finesso)