BANDA ACEH, KOMPAS — Upaya perlindungan terhadap gajah sumatera di Provinsi Aceh masih lemah. Kerusakan habitat, angka kematian tinggi, dan konflik dengan manusia kian sering terjadi.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Sapto Aji Prabowo dalam seminar lingkungan yang digelar di kampus Universitas Syiah Kuala, Selasa (6/11/2018), mengatakan, sejumlah upaya telah dilakukan untuk menyelamatkan gajah, seperti pembuatan parit, pembentukan pusat mitigasi konflik, pemasangan cincin kontrol, dan pelatihan warga menghalau gajah. Namun, upaya tersebut tidak maksimal sebab 85 persen populasi gajah di Aceh berada di luar wilayah konservasi.
”Populasi gajah paling besar berada di dalam kawasan budidaya atau area penggunaan lain yang sebenarnya awalnya itu lintasan gajah,” ujar Sapto.
Sapto menambahkan, parahnya lagi, area budidaya itu ditanami tanaman yang disukai gajah, seperti kelapa sawit, jagung, padi, dan pinang. Akibatnya, saat gajah melintasi di jalur itu, tanaman tersebut dimakan. Maka, oleh warga yang kebunnya rusak, gajah dianggap sebagai hama. ”Ujung-ujungnya gajah mati diracun atau kena setrum,” kata Sapto.
Mitigasi tidak jalan
Persoalannya lainnya adalah, dalam Qanun atau Perda tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Aceh, kawasan yang merupakan habitat gajah masuk dalam kawasan budidaya dan perkebunan sawit. Selain itu, kata Sapto, satuan tugas mitigasi konflik satwa yang dibentuk oleh gubernur tidak berjalan.
Sapto menuturkan, setiap hari dia menerima laporan tentang konflik gajah dengan manusia. Bahkan, setiap tahun, jumlah kasus terus bertambah. Konflik antara manusia dengan gajah pada akhirnya menjadikan gajah sebagai sasaran perburuan.
Sejak 2015-2018, tercatat sebanyak 38 gajah di Aceh mati. Penyebabnya diburu, diracun, disetrum, dan dijerat.
Sapto menambahkan, saat ini, jumlah populasi gajah di Aceh sebanyak 593 ekor yang terbagi dalam 35 kelompok yang tersebar di 15 kabupaten/kota. Sebanyak 447 betina dan 92 jantan.
Persoalannya, kata Sapto, tidak semua pemkab mau terlibat penuh melindungi gajah. Misalnya, Kabupaten Bener Meriah bersedia membangun parit, sementara Aceh Tengah belum bersedia. Akibatnya, gajah tetap bisa masuk ke permukiman warga.
Aktivis WWF Provinsi Aceh, Azhar, mengatakan, pembukaan perkebunan sawit secara besar-besaran telah merusak habitat gajah. Dia mencontohkan kawasan Daerah Aliran Sungai Peusangan telah berubah menjadi perkebunan sawit sehingga gajah yang berada di kawasan itu terdesak.
Azhar mengatakan, kawasan DAS Peusangan menjadi habitat sekitar 50 ekor gajah. Kondisi mereka kian terdesak oleh pembukaan perkebunan. ”Perusahaan merusak jalur gajah dan kemudian gajah disebut biang perusak saat masuk ke kebun, padahal itu adalah jalur jelajahnya,” ujar Azhar.
Menurut Azhar, gajah yang berada di luar kawasan konservasi sama dengan berada di zona maut dan kehidupan mereka kian terancam. ”Harus ada upaya konkret menyelamatkan gajah karena Aceh menjadi harapan terakhir keberadaan satwa kunci ini,” tutur Azhar.