Fokus pada Kesehatan Lingkungan dan Jiwa
Layanan kesehatan masyarakat pascabencana diutamakan pada kesehatan lingkungan dan jiwa. Tujuannya agar warga siap melanjutkan kehidupan.
PALU, KOMPAS Layanan kesehatan di Palu, Sigi, dan Donggala, Sulawesi Tengah, hampir sepenuhnya pulih. Layanan kesehatan pada masa transisi pascabencana saat ini menitikberatkan pada aspek kesehatan lingkungan dan jiwa.
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah mencatat, dari 17 rumah sakit di Palu, Sigi, dan Donggala, 15 rumah sakit sudah kembali beroperasi. Dua rumah sakit lain, RS Nasanapura dan RS Bersalin Masita, belum beroperasi.
RS Nasanapura tidak dapat digunakan karena rusak parah, sedangkan RS Bersalin Masita sedang menjalani proses perbaikan manajemen.
”Adapun 50 puskesmas di tiga kabupaten terdampak sudah berfungsi semua. Ada 8 puskesmas yang rusak berat sehingga harus memberikan layanan di tendatenda di halaman puskesmas,” tutur Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulteng Reny Lamadjido di Palu, Rabu (7/11/2018).
Pulihnya layanan kesehatan tersebut seiring dengan semakin berkurangnya jumlah sukarelawan tenaga kesehatan yang diperbantukan, termasuk dokterdokter spesialis. Saat masa tanggap darurat terdapat 148 dokter spesialis yang menjadi sukarelawan. Setelah tanggap darurat berakhir jumlahnya menjadi 36 dokter spesialis.
Reny mengatakan, pihaknya saat ini menitikberatkan pada layanan kesehatan jiwa dan kesehatan lingkungan. Tujuannya agar warga siap dan mampu tinggal dalam kurun waktu lama, baik di pengungsian maupun hunian sementara (huntara) hingga nantinya bisa tinggal di hunian tetap (huntap).
Perhatian pada kesehatan jiwa diperlukan agar warga tidak takut untuk kembali tinggal di dalam rumah. Layanan kesehatan jiwa juga untuk membangkitkan motivasi Sulteng pascabencana.
Hal itu dilakukan dengan memberikan pendampingan pemulihan shock pascabencana melalui kerja sama dengan berbagai pihak, salah satunya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Selain itu, kesehatan lingkungan menjadi perhatian khusus. Dinas kesehatan berupaya mewujudkan sanitasi sehat di pengungsian, huntara, dan huntap.
”Saat ini kami terus melakukan pengecekan dan pendampingan di posko-posko pengungsian untuk memastikan fasilitas MCK layak, pemberian asupan gizi tepat, dan pembuangan sampah yang baik.
Kami juga terus mengoptimalkan layanan di tenda kesehatan reproduksi, pendataan ibu hamil, bayi dan anak balita, serta pemberian makanan bayi dan anak,” kata Reny.
Perubahan pola penyakit
Wakil Direktur Bidang Pelayanan RSUD Undata Amsyar Praja mengatakan, terjadi perubahan pola penyakit yang ditangani rumah sakit milik Pemprov Sulteng itu. Pada awal masa tanggap darurat, RSUD Undata banyak menangani kasus luka traumatik, ortopedi, dan bedah.
Kini, rumah sakit lebih banyak menangani penyakit infeksi menular, seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan diare.
”Rata-rata ada 20 pasien diare akut dan 20 pasien ISPA yang dirujuk ke RSUD Undata setiap hari. Mereka adalah pengungsi yang tidak cukup ditangani di posko kesehatan atau di puskesmas setempat,” ujar Amsyar.
Kesehatan lingkungan masih menjadi pekerjaan rumah bagi Pemprov Sulteng. Pantauan di satu posko pengungsian di Masjid Agung Palu, ada 425 keluarga atau sekitar 2.100 orang yang mengungsi. Mereka tinggal di tenda-tenda darurat.
Tampak sampah berserakan dan hanya dikumpulkan di titik tertentu. Sejumlah selokan tampak tersumbat oleh sampah dengan air menghitam.
Untuk MCK, hanya ada sembilan kamar mandi umum.
Para pengungsi harus antre untuk menggunakan fasilitas tersebut. Beruntung, para pengungsi tidak kekurangan pasokan air bersih.
Lukman Mopangga (47), seorang pengungsi warga Kecamatan Palu Barat, tinggal di tenda berukuran 8 meter x 6 meter bersama 11 orang lain yang masih sekerabat.
Di samping tenda, ia mendirikan dapur darurat beratap terpal. Kemudian ada kamar mandi darurat yang dibangun sendiri. Dinding kamar mandi dari plastik terpal setinggi 2 meter. Lantainya dari paving block.
Koordinator pengungsi di posko Masjid Agung Palu, Djursal Aman Cighrapata, mengakui, kondisi pengungsian jauh dari layak. Sejak berdiri pada 29 September, baru sekali ada penyedotan septic tank.
”Sampah juga jarang diangkut. Akhirnya, saya dan beberapa warga berinisiatif mengumpulkan ke satu titik untuk dibakar. Kondisinya memang serba darurat. Seharusnya kebersihan dan kesehatan pengungsi diperhatikan,” ujarnya. (AIK/GER)