MEDAN, KOMPAS — Kain tradisional ulos berpeluang dikembangkan dalam industri kreatif busana, desain interior, dan koleksi kain bernilai tinggi. Membawa ulos ke dalam industri kreatif, tidak hanya untuk kain adat, juga merupakan upaya pelestarian ulos. Para penenun ulos yang jumlahnya sangat sedikit kini bertambah karena karya mereka dihargai dengan nilai ekonomi yang lebih tinggi.
Hal tersebut terungkap dalam pembukaan pameran karya seni instalasi ulos bertajuk "The Harungguan” karya Torang Sitorus di Andaliman Hall, Medan, Sumatera Utara, Rabu (7/11/2018). Ada sekitar 100 ulos tenun yang menggunakan pewarna alami yang dipamerkan di sana. Pameran yang diselenggarakan hingga Minggu (11/11/2018) itu juga memamerkan busana bertema ”Re-Imagine Ulos” karya Ivan Gunawan.
Torang mengatakan, ulos harungguan yang ia pamerkan telah mendapat penghargaan sebagai kain terbaik dari World Craft Council, lembaga di bawah UNESCO. ”Ulos harungguan ini berhasil merevitalisasi budaya pembuatan ulos dengan pewarnaan alam yang sudah lama ditinggalkan penenun. Ini hasil tenun dari Mama Jadi boru Sianturi,” kata Torang.
Torang mengatakan, dalam beberapa tahun belakangan ini, ulos mulai dibawa ke pasar industri kreatif. Ulos menjadi andalan dalam berbagai fashion show dan menjadi bahan utama dalam mendesain interior sejumlah hotel berbintang. ”Saya selalu menggunakan ulos hasil tenun dari masyarakat. Cara ini paling realistis untuk menghidupkan kembali tradisi menenun di Toba,” kata Torang.
Namun, menurut Torang, membawa ulos ke dalam industri kreatif menghadapi sejumlah tantangan, khususnya penolakan dari sejumlah pihak yang merasa kesakralan ulos berkurang kalau digunakan untuk industri kreatif. ”Ada yang tidak terima kalau ulos digunting untuk dibuat menjadi busana. Seharusnya ini dipisahkan, antara ulos sebagai kain adat dan sebagai kain untuk industri kreatif,” kata Torang.
Seharusnya ini dipisahkan, antara ulos sebagai kain adat dan sebagai kain untuk industri kreatif
Torang mengatakan, saat ini ulos menghadapi ancaman kepunahan karena jumlah penenun ulos yang semakin sedikit. Adapun kain ulos yang ada saat ini hampir seluruhnya adalah kain yang dihasilkan mesin. Produksi ulos terus bertambah untuk keperluan adat, tetapi keberadaan penenun tidak diperhitungkan.
Saat ini, Torang bersama perancang busana lain semakin banyak yang bermitra langsung dengan para penenun ulos di Toba. Hasil karya tenun mereka pun diberikan harga yang layak. Sebuah ulos tumtuman yang bisa dikerjakan seorang penenun dalam tiga minggu bisa dijual Rp 8 juta hingga Rp 10 juta per lembar.
Sejak menjadi komoditas industri kreatif, kata Torang, optimisme muncul karena penenun-penenun muda kembali lahir meskipun jumlahnya belum banyak. ”Ada beberapa anak muda yang pulang kampung meninggalkan pekerjaannya sebagai buruh pabrik di luar kota agar bisa menjadi penenun di kampung halaman. Ini karena karya tenun mereka semakin diberikan harga yang baik,” kata Torang.
Torang mengatakan, dirinya mendampingi secara serius dua kelompok tenun, yakni di Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara, dan di Kecamatan Silaen, Kabupaten Toba Samosir. Dua kelompok itu kini terus berkembang dan berlomba-lomba menghasilkan kain ulos yang bernilai tinggi.
Dengan bermitra dengan perancang busana, kata Torang, karya tenun mereka juga lebih dihargai karena nama penenun akan selalu melekat di kainnya. Harga kain mereka juga akan lebih tinggi karena dipasarkan langsung oleh pelaku industri kreatif. Ini yang selama ini tidak bisa dilakukan para penenun sehingga harga jual ulos tenun mereka dihargai rendah oleh pengepul.
Wakil Gubernur Sumatera Utara Musa Rajekshah mengatakan, pameran karya seni instalasi ulos tersebut akan terus dikembangkan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. ”Pameran seperti ini punya daya tarik yang kuat untuk wisatawan yang ingin melihat kebudayaan kita. Ke depan, kami akan menyediakan ruang kreativitas yang lebih luas untuk pameran kebudayaan,” kata Musa.
Kami akan menyediakan ruang kreativitas yang lebih luas untuk pameran kebudayaan
Musa mengatakan, kebudayaan masyarakat Sumut harus dikembangkan kembali dan dikemas menjadi komoditas industri. Hal itu sejalan dengan rancangan yang akan menjadikan Sumut sebagai salah satu destinasi wisata prioritas nasional.