MEDAN, KOMPAS – Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 Tentang Reforma Agraria diharapkan bisa menyelesaikan konflik agraria di Sumatera Utara yang masih berkepanjangan hingga saat ini. Masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil diminta dilibatkan dalam gugus tugas reforma agraria yang dibentuk di daerah.
“Perpres Reforma Agraria harus terus dikawal agar sepenuhnya bisa bermanfaat untuk merombak ketimpangan struktur agraria dan melakukan redistribusi lahan kepada rakyat yang membutuhkan lahan, bukan sekedar bagi-bagi sertifikat,” kata Koordinator Sekretariat Bersama Reforma Agraria Sumut Abdul Halim Sembiring, di Medan, Kamis (8/11/2018).
Halim mengatakan, sebanyak 31 organisasi masyarakat sipil dan masyarakat adat di Sumut membentuk sekretariat bersama untuk mengawal perpres reforma agraria tersebut. Mereka pun meminta agar dilibatkan dalam gugus tugas reforma agraria yang akan dibentuk di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Halim mengatakan, di Sumut terdapat banyak konflik agraria yang sudah berkepanjangan dan tidak ada jalan keluar. Berdasarkan catatan Hutan Rakyat Institute, kata Halim, ada 106 kelompok masyarakat yang sampai saat ini masih berkonflik dengan perkebunan maupun perusahaan hutan tanaman industri di Sumut dengan total lahan yang disengketakan 346.648 hektar.
Salah satu konflik agraria yang terbesar di Sumut adalah konflik lahan bekas hak guna usaha PT Perkebunan Nusantara II di Medan, Deli Serdang, Langkat, dan Kota Binjai. Konflik agraria tersebut tak ada ujung pangkalnya karena melibatkan banyak aktor antara kelompok masyarakat, PTPN II, pengembang perumahan, dan mafia tanah.
Konflik agraria juga terjadi di dataran tinggi Toba. Tanah ulayat masyarakat adat dikuasai oleh korporasi yang mendapat konsesi dari pemerintah. Permasalahan ini juga belum bisa selesai sampai saat ini.
Pelibatan warga
Kepala Departemen Program dan Kajian Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Utara Sandrak Manurung mengatakan, terbitnya Perpres Reforma Agraria menghadirkan peluang sekaligus tantangan dalam penyelesaian konflik. “Minimnya pelibatan masyarakat sipil dalam perencanaan dan pelaksanaan reforma agraria rentan dimanfaatkan pihak tertentu justru untuk merebut lahan objek reforma agraria,” kata Sandrak.
Minimnya pelibatan masyarakat sipil dalam perencanaan dan pelaksanaan reforma agraria rentan dimanfaatkan pihak tertentu justru untuk merebut lahan objek reforma agraria,
Menurut Sandrak, pelaksana program reforma agraria, sebagaimana diatur dalam Perpres Reforma Agraria, menjadi tidak efektif karena tidak ditangani satu lembaga yang berfokus pada reforma agraria. Pelaksana reforma agraria terdiri dari gabungan beberapa kementerian dan lembaga yang dapat menyulitkan koordinasi dan komunikasi.
“Perpres Reforma Agraria juga belum mempunyai target implementasi yang terukur tentang waktu dan objek reforma agraria. Kita harus mengawal perpres ini agar penguasaan, pengelolaan, dan pemanfaatan objek reforma agraria sepenuhnya untuk kepentingan rakyat,” kata Sandrak.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Sumut Amin Multazam mengatakan, Perpres Reforma Agraria menjadi momentum untuk menyelesaikan konflik reforma agraria. “Namun, masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil harus dilibatkan agar perpres ini tidak justru melahirkan konflik baru,” kata Amin.
Anggota Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria Harun Nuh mengatakan, pelaksanaan reforma agraria harus benar-benar bisa merombak struktur penguasaan lahan yang selama ini lebih banyak dikuasai korporasi dibanding rakyat. “Yang dilakukan pemerintah selama ini baru program bagi-bagi sertifikat tanah. Itu pun, belum ada sertifikat yang diberikan kepada kelompok masyarakat yang sebelumnya menghadapi konflik agraria,” katanya.