Titian Berliku Memulas Borobudur
Warga sekitar Candi Borobudur masih gagap menghadapi pertumbuhan aktivitas pariwisata di daerahnya. Seharusnya mereka segera diberi pemahaman bagaimana menangkap peluang dan dilibatkan dalam pengelolaan pariwisata. Sejumlah aturan perlu diselaraskan agar pengembangan kawasan berjalan maksimal.
Pengelolaan pariwisata Candi Borobudur ibarat penyusunan puzzle raksasa. Keping sumbu konservasi kerap tak berkelindan dengan promosi maupun bisnis. Terjebak di sela-sela, para warga setempat seolah tercecer, gagap dengan gegap gempita pariwisata di depan mata.
Ismoyo, warga Desa Majaksingi, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, masih mengingat saat suatu hari kedatangan seseorang yang mengaku hendak membeli tanahnya seluas 1.000 meter persegi. Meski tak seberapa luas, tanah itu berjarak sekitar 5 kilometer dari kawasan candi.
”Ternyata dia calo tanah. Saat itu, saya menolak dan menegaskan tidak akan menjual tanah saya,” tutur Ismoyo, akhir Oktober.
Kehadiran calo tanah, kata Ismoyo, marak beroperasi di sekitar Borobudur. Mereka menjadi perantara para investor luar, bisa dari Magelang, bahkan luar daerah seperti Jakarta.
Tidak hanya tanah datar, lahan-lahan di perbukitan Menoreh yang belum ada akses jalannya pun turut diincar. ”Sebagian sudah dibeli orang luar,” ujarnya.
Adi Winarto, warga Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur, menambahkan, ramainya investor dari dalam dan luar negeri mulai dirasakan sekitar tahun 2000 dan kian gencar lima tahun terakhir. Besarnya minat itu direspons warga sehingga menghadirkan calo-calo tanah.
Calo tanah, kata Adi, bisa dari warga biasa, tokoh masyarakat, hingga mantan perangkat desa. Bahkan, para perangkat desa aktif juga ikut bergerilya menawarkan tanah kepada investor.
Diiming-imingi uang dengan nominal besar, sebagian warga tergoda. Terlebih mereka belum paham benar rencana pengembangan sekitar candi. Apa peran mereka nanti? Apakah akan dilibatkan atau justru tersisih? Di tengah kebimbangan itu, peluang yang muncul pun direnggut.
Aturan membingungkan
Bagi sejumlah warga, salah satu faktor pemicu penjualan tanah adalah ketidakjelasan aturan pengelolaan kawasan Borobudur. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 58 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Borobudur dan Sekitarnya hingga kini tidak ditindaklanjuti petunjuk teknis pelaksanaan sehingga membingungkan. Terlebih, salah satu butir aturannya melarang pendirian bangunan baru di radius 10 kilometer dari Candi Borobudur.
Aturan itu juga membuat PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko selaku pengelola kawasan candi kesulitan melaksanakan rencana pengembangan kawasan.
”Perpres itu membuat kami menunda pemindahan pedagang dan kesulitan mendirikan alternatif obyek wisata baru di luar zona II Candi Borobudur,” ujar General Manager Taman Wisata Candi (TWC) Borobudur I Gusti Putu Ngurah Sedana.
Beberapa kegiatan yang semula direncanakan di luar zona II, seperti perluasan areal parkir dan penataan lokasi baru bagi para pedagang, mandek.
Pemindahan pedagang ke lokasi baru sangat mendesak karena jumlahnya sudah mencapai 3.500 orang. Padahal, tempat berdagang saat ini hanya untuk 120 pedagang. ”Kami tidak mungkin memaksakan diri membangun kios baru di zona II karena sudah sangat padat,” ujar Sedana.
PT TWC Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko juga berencana membuat obyek wisata baru di luar zona II, yakni semacam balon udara. Dengan wahana itu pengunjung bisa melihat Candi Borobudur dari ketinggian.
Namun, adanya larangan dalam Perpres, membuat Pemkab Magelang belum berani mengeluarkan izin bangunan.
Perubahan cukup signifikan juga terjadi setelah penetapan Borobudur sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) pada 2015. Hal ini turut melatarbelakangi kelahiran lembaga baru, yakni Badan Otorita Borobudur (BOB).
Direktur Utama BOB Indah Juanita menjelaskan, lembaganya bertugas mengoordinasikan berbagai aspek terkait pengembangan pariwisata empat KSPN di Jateng, yaitu Borobudur-Prambanan, Dieng, Semarang-Karimunjawa, dan Solo-Sangiran. Salah satunya, terkait penataan tata ruang antara satu kabupaten/kota dan kabupaten/kota lain di empat KSPN itu.
Namun, Indah mengatakan, pihaknya tidak ikut campur dalam pengelolaan destinasi wisata secara teknis. ”Kami sering dikira mengurusi Candi Borobudur, padahal kami tidak mengurusi candi,” ucapnya.
Destinasi baru
Menurut Indah, BOB justru ditugasi mengembangkan tujuan wisata baru mendukung Candi Borobudur. Destinasi itu akan dikembangkan di Kabupaten Purworejo.
”Kawasan sejauh 10 kilometer dari Borobudur itu diharapkan mendorong pertumbuhan ekonomi di Jateng dan Daerah Istimewa Yogyakarta,” ujarnya.
Kawasan seluas 309 hektar (ha) tersebut didominasi hutan pinus, berlokasi di Desa Sedayu, Kecamatan Loano, dan Desa Benowo, Kecamatan Bener, Purworejo. Kawasan itu berada di bawah pengelolaan Perum Perhutani.
Dari kawasan itu, BOB— lembaga di bawah Kementerian Pariwisata—mendapat hak pengelolaan lahan seluas 50 ha. Sisanya akan dikelola bersama Perum Perhutani.
Menurut rencana, sebagian kawasan akan dikembangkan menjadi tempat glamorous camping (glamping), tempat berkemah dengan fasilitas mewah. Di kawasan tersebut juga akan dikembangkan hotel, tempat pertemuan, dan atraksi wisata baru.
Di kawasan itu akan dibangun sekitar 1.500 kamar penginapan, baik berupa hotel maupun fasilitas glamping. Kini, peralihan status tanah masih diproses dan diharapkan rampung pada kuartal I tahun 2019.
Obyek wisata itu, kata Indah, disiapkan sebagai obyek kunjungan baru di ruas jalan yang menghubungkan antara bandara baru di Kulon Progo dan Candi Borobudur. Ini adalah bagian dari upaya mengendalikan jumlah kunjungan ke Candi Borobudur agar tidak semua turis tumpah ruah dalam satu waktu. Hal ini dilakukan sebagai bagian upaya konservasi candi.
Junior Manager Business Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan Kedu Selatan Farichin mengingatkan, pengembangan kawasan BOB harus tetap memperhatikan kesejahteraan dan keterlibatan warga yang selama ini memanfaatkan kawasan hutan.
Dari areal seluas 309 ha itu, sekitar 246,6 ha merupakan hutan pinus yang getahnya biasa disadap 59 keluarga petani. Selain itu, banyak warga memanfaatkan kawasan hutan untuk beternak kambing dan bertani.
Kepala Dinas Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata Jateng Urip Sihabudin mengatakan, pengembangan destinasi baru di sekitar Borobudur merupakan bagian dari upaya mendongkrak jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Jateng yang pada 2018 ditargetkan 1 juta pengunjung.
Wisatawan Nusantara pada tahun sama ditargetkan 45 juta orang. Pada 2017, jumlah wisatawan ke Candi Borobudur sebanyak 3,8 juta orang dan pada 2018 ditargetkan 4,7 juta orang.
Namun, di balik angka-angka statistik itu, Urip menggarisbawahi keterlibatan masyarakat dalam pengembangan wisata. Salah satunya lewat pembentukan desa-desa wisata.
Camat Borobudur Nanda Cahyadi Pribadi menyatakan, sejalan dengan pengembangan desa wisata, masyarakat Borobudur diharapkan tak mudah menjual lahan miliknya. ”Silakan orang berinvestasi di Borobudur, tetapi tanah warga jangan dibeli. Lebih baik kerja sama (pemanfaatan lahan) saja, tanpa harus menjual lahan,” tutur Nanda.
Penjualan lahan-lahan warga justru membuat masyarakat semakin tersingkir. Padahal, semestinya merekalah penerima manfaat pertama pertumbuhan aktivitas pariwisata. (EGI/DKA/HRS/DIT/GRE)