Doa bagi yang Tak Bernama
Hari Pahlawan setiap 10 November datang lagi. Momen ini menjadi ujian bagi anak bangsa tak lupa pada semangat besar para pejuang demi Indonesia kini.
Ratusan batu nisan seragam terhampar rapi di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung. Tiada taburan bunga, tanpa ada kunjungan keluarga.
Di salah satu makam tanpa nama, mata Petra Gilang (22) menatap nanar. Dia berdoa dalam diam. Angin yang berembus pelan Kamis (8/11/2018) pagi itu menambah suasana sendu di kawasan seluas 8,7 hektar itu.
”Mereka tidak ada yang mendoakan. Padahal, lewat perjuangan mereka, saya bisa menikmati kemerdekaan saat ini,” kata Petra yang baru saja lulus dari fakultas hukum perguruan tinggi negeri di Bandung.
Berdasarkan data Satuan Pelayanan Pemeliharaan Taman Makam Pahlawan (TMP) Cikutra, Bandung, pahlawan yang dikebumikan berjumlah 5.782 makam. Diresmikan tahun 1962, ada 193 makam pejuang tanpa nama. Mereka bersanding bersama nama besar penulis kritis Danoedirdja Setiaboedi alias Ernest Douwes Dekker, jurnalis dan sastrawan Abdoel Moeis, serta tokoh pejuang 10 November Moestopo. Tak ada jarak karena semuanya punya tujuan sama, Indonesia merdeka.
Petra bukan pertama kali datang ke TMP Cikutra. Sebelumnya, ia kerap datang bersama rombongan organisasi di kampusnya. Acaranya beragam, mulai dari penerimaan anggota baru hingga renungan hari besar kenegaraan.
”Selain itu, setiap lewat TMP, saya selalu menyempatkan berhenti di depan pintu gerbangnya. Biasanya ada sedikit doa untuk mereka yang terbaring di sana. Hal yang saya lakukan ketika pulang kampung di Kuningan, datang ke TMP Haurduni meski tidak ada kerabat yang dimakamkan di sana. Saya bisa seperti ini karena mereka,” tutur Petra.
Ugan (56), perawat TMP Cikutra yang bekerja sejak tahun 1982, mengatakan, memang tidak banyak orang yang datang mengunjungi makam tak dikenal. Namun, semuanya tak mengurangi perhatian pengelola TMP. Perawatan dan pemangkasan rumput tetap dilakukan.
”Memasuki tahun 2000-an, perhatian pengelola semakin baik. Kesejahteraan kami sangat diperhatikan sehingga bisa fokus merawat makam para pahlawan,” ucapnya.
Hal itu juga membuat minat masyarakat datang berkunjung pun semakin besar. Tidak hanya ahli waris, berbagai komunitas dan sekolah mengunjungi TMP Cikutra untuk memperkenalkan pahlawan beserta nilai-nilai nasionalisme mereka yang gugur saat memperjuangkan kemerdekaan.
”Kunjungan dan doa masyarakat luas jelas membuat hati ini bahagia. Semuanya jadi penghargaan bagi mereka, khususnya pejuang tanpa nama, yang menderita demi kemerdekaan. Hal ini dibutuhkan untuk Indonesia yang kuat, aman, dan damai,” ujarnya.
Minim perhatian
Jika TMP Cikutra mulai mendapat perhatian, tidak demikian dengan sejumlah petilasan perjuangan di Kota Bandung. Terletak di pusat kota, generasi mudanya justru lupa.
Di Jalan Braga, misalnya, terdapat tugu beton setinggi 1,5 meter di depan Gedung Bank Jawa Barat (BJB) Cabang Utama Bandung. Pada masa pra-kemerdekaan, gedung tersebut merupakan De Eerste Nederlandsch-Indische Spaarkas (Bank Tabungan Hindia Belanda) atau dikenal dengan nama Gedung DENIS.
Di tugu tersebut tertulis, ”Terjadi peristiwa perobekan bendera Belanda oleh ME Karmas dan Moeljono”. Keterangan itu merujuk pada kejadian September-Oktober 1945 di Bandung sebelum meletusnya peristiwa Bandung Lautan Api pada 1946.
Akan tetapi, banyak orang tidak mengetahui jejak sejarah penting itu. Seperti sejumlah pemuda yang sibuk berswafoto di Taman Braga dengan latar Gedung BJB.
Feri (23), pemuda asal Buahbatu, Kota Bandung, mengaku tidak mengetahui peristiwa perobekan bendera di eks Gedung DENIS itu. Padahal, dia hanya berjarak 10 meter dari tugu mini yang menandakan peristiwa tersebut.
”Saya enggak tahu sejarahnya. Setahu saya, tempat ini sering dijadikan lokasi foto-foto karena bangunannya bagus,” ujarnya, Kamis.
Tak hanya Feri, hampir sebagian orang tidak menyadari tugu penanda peristiwa perobekan bendera Belanda itu. Jejak sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan itu pun tenggelam oleh euforia swafoto yang sedang tren di kalangan anak muda.
Berjarak sekitar 1 kilometer dari eks Gedung DENIS, terdapat Monumen Pahlawan Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia di Jalan Lengkong Besar. Pada monumen itu tertulis, ”Pada 2 Desember 1945, di tempat ini telah terjadi pertempuran antara pemuda pejuang kemerdekaan melawan tentara Belanda/NICA dan Inggris dari pukul 06.00-21.00”.
Peristiwa bersejarah itu disebabkan upaya pasukan Inggris dan Belanda yang mulai mengotak-ngotakkan wilayah Kota Bandung. Hal ini membuat warga Bandung marah dan melawan. Perlawanan ini juga menjadi salah satu pemicu peristiwa Bandung Lautan Api yang epik itu.
Jejak sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan itu pun tenggelam oleh euforia swafoto yang sedang tren di kalangan anak muda.
Hanya beberapa masyarakat setempat yang mengetahui perjuangan warga Kota Bandung di awal masa kemerdekaan tersebut agar Indonesia tidak kembali jatuh ke tangan penjajah. Namun, usia mereka tak muda lagi.
”Di sini pernah terjadi pertempuran hebat melawan tentara Belanda dan Inggris. Oleh sebab itu dibangun monumen untuk mengingat perjuangan itu,” ujar Kosasih (50), warga di Jalan Lengkong Besar.
Sementara itu, sejumlah pemuda yang sedang makan di kaki lima Jalan Lengkong Besar tidak mengetahui peristiwa bersejarah di tempat itu. Padahal, hampir setiap hari mereka makan siang di lokasi tersebut.
”Karena di atas monumen terdapat bekas senjata, mungkin ini dulunya bekas perang. Tetapi, enggak tahu perangnya terkait apa,” kata Setiawan (25), satu di antara pemuda tersebut.
Menjelang siang di TMP Cikutra, doa Petra untuk pahlawan tak dikenal usai mengangkasa ke udara. Tidak lantas bergegas pulang, ia menyempatkan diri berkeliling menyapa dalam senyap para pejuang yang terbaring abadi.
”Semoga momen itu akan jadi bekal pengingat banyak orang untuk terus mengingat jasa mereka yang gugur lebih dulu untuk kemerdekaan Indonesia,” ujar Petra.