Bagi wong cilik, apakah pengalaman hidup mereka di negara yang menganut ajaran Pancasila? Ada berbagai jawaban. Pada dasarnya, mereka semua hampir sepakat, pengamalan Pancasila sekarang makin menurun. Banyak anak dan masyarakat tidak mengenal Pancasila. Sila tentang keadilan masih belum dirasakan. Ketidakpuasan seharusnya tidak diselesaikan dengan unjuk rasa yang membawa massa, tetapi dengan perwakilan melalui musyawarah untuk mencari mufakat.
”Saya selaku laden tukang (buruh) berharap para petinggi di negara ini mampu menjaga kerukunan dan ketenangan masyarakat sehingga kami yang di bawah ini dapat hidup dengan tenang,” demikian kata Eko, buruh tukang batu saat berbicara tentang pengalaman hidupnya di negara yang menganut ideologi Pancasila. Bagi Eko, sila keempat Pancasila itu mengajarkan kepemimpinan berdasarkan musyawarah, bukan dengan unjuk rasa.
Eko merupakan salah satu peserta seminar bertajuk ”Ketika Wong Cilik Seminar Pancasila” yang diadakan Perhimpunan Warga Pancasila (PWP), di Yogyakarta, Minggu (11/11/2018). Peserta seminar semua merupakan wong cilik dengan pekerjaan tidak mapan. Selain peladen tukang, seperti Eko, ada juga penjual siomay, buruh tani, tukang ojek, ojek difabel, pemungut sampah, buruh serabutan, sopir, dalang, tukang becak, buruh toko swalayan, dan penggali kubur. Sekitar 35 orang hadir dalam acara itu.
Ketua PWP Sugeng Bayu Wahyono yang juga dosen Sosiologi di Universitas Negeri Yogyakarta mengatakan, seminar Pancasila dengan menghadirkan wong cilik bukan mencari sensasi. ”Wong cilik itu, kan, inspirasi Bung Karno dalam menciptakan ideologi Pancasila. Namun, mereka selama ini tidak pernah mendapat kesempatan untuk bicara, biasanya seminar Pancasila, kan, peserta dan pembicara dari kelas atas, pejabat dan perguruan tinggi. Dengan acara ini, kami memberi wadah agar aspirasi pemilik Pancasila, yaitu wong cilik itu, mendapat perhatian,” tuturnya.
Suasana seminar yang dipandu aktivis sosial budaya Fajar Sudarwo cukup cair. Bahkan, dengan nada serius, pemungut sampah bernama Ribut mempertanyakan tentang acara itu. ”Sebelum saya bicara, saya ingin tahu apa arti seminar itu. Saya orang tidak berpendidikan karena itu tidak tahu istilah seminar,” katanya dengan bahasa campuran Jawa-Indonesia. Tentu saja semua yang hadir tertawa.
Setelah dijelaskan arti seminar sama dengan rembukan, Ribut kemudian memberi evaluasi tentang pelaksanaan Pancasila. ”Sila tentang keadilan belum saya rasakan, misalnya dalam hal kesehatan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Tidak adil kalau orang yang kaya dengan gaji Rp 10 juta, misalnya, mendapat kartu BPJS karena, kalau sakit, dia bisa membayar biaya rumah sakit secara normal tanpa kartu BPJS. Seharusnya seperti saya ini yang mendapat layanan itu, tetapi malahan saya harus ikut BPJS mandiri, padahal beli APC (obat pusing) saja tidak mampu,” tutur Ribut mengungkapkan.
Buruh tani bernama Paryono juga mengeluhkan keadilan dalam hidupnya yang sampai sekarang belum teratasi. ”Hidup sebagai buruh tani tidak bisa menjadi sejahtera karena menanggung risiko rugi yang banyak ketika panen tidak berhasil. Buruh tani penggarap mengeluarkan biaya ongkos pertanian, seperti pupuk dan penyemprot hama. Saat panen gagal, kami menjadi rugi, pemilik lahan tidak rugi,” paparnya.
Sementara bagi Totok, buruh serabutan, selama ini terjadi kemerosotan etika unggah-ungguh atau sopan santun di kalangan anak-anak karena penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) telah dihilangkan.
”Ketika masih ada P4, kami diajarkan butir-butir Pancasila beserta dengan cara pengamalannya. Penerapannya misal pada sikap hormat kepada orang yang lebih tua. Sekarang ada orangtua duduk, anak muda seenaknya saja lewat. Kalau dahulu, kami diajarkan untuk nuwun sewu (permisi) sambil agak membungkukkan badan,” ujarnya.
Buruh harian bernama Ganep mengungkapkan kegalauannya tentang sekelompok orang yang ingin mengganti Pancasila. ”Saya berharap hidup zaman sekarang jangan cekcok dengan Pancasila, mari kita hidup rukun. Saya ini buruh harian, hidupnya tergantung pada tetangga yang membutuhkan tenaga. Saya berdoa agar tetangga saya makmur supaya kalau butuh tenaga bisa membayar saya,” katanya.