JAKARTA, KOMPAS—Sebagian masyarakat Gane, Halmahera Selatan, Maluku Utara, terancam kehilangan mata pencaharian sebagai petani. Hal ini diduga karena terjadi perampasan dan pembukaan lahan ilegal perkebunan yang dilakukan sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Ketua Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Maluku Utara Ismet Soelaiman, mengatakan hal itu dalam acara diskusi temu media, Minggu (11/11/2018), di Jakarta. Diskusi ini untuk memaparkan hasil investigasi Walhi, Rainforest Action Network (RAN), dan Transformasi untuk Keadilan (Tuk) Indonesia yang dibuat dalam laporan tertulis berjudul Perilous: Korindo, Land Grabing, and Banks.
Berdasarkan temuan investigasi sejumlah organisasi lingkungan itu, disebutkan bahwa perusahaan yang diduga merampas dan membuka lahan ilegal perkebunan tersebut tidak mengantongi hak guna usaha (HGU). Hal ini diperkuat dengan konfirmasi Badan Pertanahan Nasional pada tahun 2016, yang menyebutkan bahwa perusahana yang dimaksud tidak memiliki HGU. Perusahan ini juga dinilai membuka lahan sawit melebihi luas area kawasan hutan yang dapat dikonversikan (HPK). Akibatnya sebagian kawasan yang menjadi milik masyarakat diduga dirampas perusahan itu.
“Telaah di dinas kehutanan, luasnya cuma 10.100 ha. Tetapi yang dilepaskan 11 juta ha. Ada soal ketika izin yang diterbitkan melampaui luas wilayah yang ditelaah,” kata Kepala Departemen Kajian Pembelaan Dan Hukum Lingkungan Walhi Zenzi Suhadi.
Sebagian yang dirampas merupakan lahan milik masyarakat setempat karena telah ditempati sebelum tahun 1600. Jika merujuk pada peraturan pendaftaran tanah dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka masyarakat Gane secara hukum memiliki hak atas tanah itu, karena tanah itu telah dikuasai berturut-turut lebih dari 20 tahun.
Masyarakat yang terkena dampak langsung dari penyerobotan lahan itu berada di sembilan desa. Desa-desa itu tersebar di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Gane Barat Selatan, Gane Timur Selatan, dan Kepulauan Joronga. Diperkirakan penduduk di sejumlah desa itu berjumlah 7.935 jiwa yang menggantungkan hidupnya dengan hasil perkebunan seperti kelapa, cengkeh, dan pala.
“Kehadiran perusahan itu tidak hanya merusak sumber-sumber produktivitas masyarakat di sana. Tetapi juga menghancurkan tata sistem ekologi yang sangat beragam,” kata Ismet.
Ia berharap pemerintah menghentikan perampasan ruang hidup masyarakat Gane karena mengancam sumber pangan masyarakat Gane.
Diduga ilegal
Wakil Direktur Tuk-Indonesia Edi Sutrisno mengatakan, selain merampas lahan warga, perusahan itu juga diduga melakukan ekspor kayu illegal ke luar negeri. Kayu itu diambil dari hasil penebangan pada saat pembukaan hutan.
“Ada rencana membuka lahan baru ke bagian utara dan barat konsesinya saat ini. Luas lahannya sebesa 82 persen atau lebih dari 7.000 ha,” katanya.
Perluasan lahan tersebut dinilai semakin merambah ke dalam lahan masyarakat. Wilayah tersebut juga merupakan hutan alam yang banyak ditumbuhi kayu merbau yang memiliki nilai jual tinggi. (STEFANUS ATO)