SIDOARJO, KOMPAS — Kejaksaan Negeri Sidoarjo menetapkan dua orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan penyelewengan dana pembangunan tempat pengelolaan sampah terpadu senilai Rp 586 juta, Senin (12/11/2018) malam. Kedua tersangka langsung ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sidoarjo.
Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Sidoarjo Adi Harsanto mengatakan, tersangka bernama Abdul Manan dan Nur Achmad. Abdul Manan merupakan kontraktor pelaksana pekerjaan pembangunan tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST). Adpun Nur Achmad merupakan panitia penerima hasil pekerjaan proyek. Dia bekerja sebagai aparatur sipil negara di Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Sidoarjo.
”Ada tiga proyek pembangunan TPST, yakni di Pasar Larangan, Pasar Krian, dan Pasar Taman. Proyek itu didanai APBD Sidoarjo tahun anggaran 2017 senilai Rp 586 juta,” ujar Adi di kantornya.
Kepala Seksi Intelijen Kejari Sidoarjo Idham Kholid menambahkan, pihaknya masih menghitung nilai kerugian negara akibat penyelewengan itu. Pekerjaan pembangunan ini seharusnya selesai akhir 2017 dan diserahkan kepada pemerintah daerah. Namun, faktanya kontraktor gagal menyelesaikan pekerjaan itu sehingga berlanjut pada 2018.
Selain waktu pekerjaan yang melebihi target, kualitas bangunan yang dihasilkan diduga tidak sesuai spesifikasi teknis yang ditetapkan. Bahkan, diduga ada pengurangan volume pekerjaan. Ditambah lagi ada dugaan pekerjaan pembangunan dikerjakan pihak lain. Bahkan, pihak yang mengerjakan ini cukup banyak.
”Proses penyelidikan telah berlangsung dan saat ini dinaikkan menjadi penyidikan dengan ditetapkannya dua tersangka,” kata Idham.
Para tersangka ini diperiksa sejak pagi oleh penyidik. Awalnya mereka diperiksa sebagai saksi. Namun, karena alat bukti yang dikumpulkan penyidik dianggap cukup, kasusnya dinaikkan menjadi penyidikan.
Tersangka diduga melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pengembangan penyidikan akan dilakukan terus oleh penyidik sehingga tidak menutup kemungkinan ada adanya penambahan jumlah tersangka.
Demo kejaksaan
Pagi harinya, Kejari Sidoarjo, Jawa Timur, didemo warga Desa Kepatihan, Kecamatan Tulangan. Mereka menanyakan tentang kelanjutan penanganan dugaan pungutan liar (pungli) dalam program sertifikasi gratis (prona) 2017. Menurut pendemo, mereka telah melaporkan kejadian itu pada 2017.
Salah satu warga yang berdemo, Sutaji, mengatakan, dalam program prona di desanya, dirinya dan sejumlah warga dipungut biaya tambahan Rp 500.000. Pungutan dilakukan panitia prona di tingkat desa dengan alasan untuk membayar jasa notaris. Namun, menurut Sutaji, tidak semua warga dikenai biaya tambahan. Ada yang benar-benar gratis.
”Yang saya tanyakan kenapa saya harus bayar. Padahal, ada warga yang gratis,” ucap Sutaji.
Kepala Kejari Sidoarjo Budi Handaka mengatakan, laporan dugaan pungli itu tidak bisa diproses hukum karena tidak ditemukan adanya pelanggaran. Pemungutan biaya Rp 500.000 itu memang untuk membayar biaya notaris. Sebab, sesuai dengan peraturan pemerintah, proses sertifikasi massal terhadap tanah yang pengadaannya dilakukan di atas tahun 1997 wajib menyertakan akta tanah yang dikeluarkan pejabat pembuat akta tanah.
Tarif notaris memang diatur pasar. Ada notaris yang mematok Rp 500.000 per akta, ada juga yang meminta Rp 1 juta per akta. Tarif itu sah sebagai uang jasa notaris sehingga tidak ditemukan adanya unsur penyimpangan. (NIK)