Kenali Diri Lewat Lari
Lari bukan saja mengayunkan kaki secepatnya sampai tujuan. Mesti ditentukan dulu tujuan berlari: untuk prestasi, menurunkan berat badan, atau sekadar berswafoto lalu dipamerkan di media sosial. Apa pun dalihnya, lari bisa jadi sarana mengenali diri.
Jalanan Kota Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (13/10/2018) pagi, masih sepi. Lampu-lampu merkuri masih menyala menerangi pasukan penyapu jalan.
Puluhan orang, tua-muda, berpakaian olahraga berkumpul di Kelenteng Tay Kak Sie. Mereka bersiap berlari, menyusuri lorong-lorong kota selagi sejuk.
Tepat pukul 05.00, mereka mulai berlari menuju Jalan Pemuda, Jalan Gajahmada, Jalan Wotgandul, dan kembali ke kelenteng sejauh 4 kilometer.
Saat rehat, para peserta menyimak cerita dan pengalaman dari pegiat lari, Riefa Istamar, dengan tema ”The Best 10K”.
”Konsistensi berlatih merupakan hal penting. Latihan tidak selalu untuk lomba, tetapi tujuan utamanya agar badan tetap fit. Saat sudah terbiasa latihan, badan biasanya akan nagih,” ujar Riefa yang mulai menekuni olahraga lari sejak 2012.
Lari bareng dan sesi berbagi itu merupakan bagian dari Road to Borobudur Marathon 2018 yang digelar di enam kota. Selain Semarang, kegiatan serupa juga dihelat di Jakarta, Bandung, Malang, Surabaya, dan Magelang. Setiap acara mengambil tema berbeda. Borobudur Marathon 2018 bakal berlangsung pada Minggu (18/11).
Dalam acara di Semarang yang diikuti sekitar 80 pelari dari berbagai komunitas, seperti Fake Runners Region Semarang, Semarang Runners, dan Kudus Runners, mereka mendapat banyak ilmu dan pengalaman. Salah satunya mengatur waktu latihan secara rutin dan konsisten.
Latihan
Menyusun rencana latihan, misalnya dengan menentukan jarak yang akan ditempuh, tetapi tetap fleksibel. Jika pada malam harinya ada kesibukan karena pekerjaan atau lain hal, pada keesokan harinya perlu disesuaikan lagi.
Bagi Riefa, porsi latihan mesti sesuai kemampuan dan konsisten.
”Dalam seminggu, misalnya, tiga kali di tengah pekan dan lari panjang di akhir pekan. Berapa pun durasinya, yang penting konsisten dan sesuai kondisi tubuh. Jika latihan hanya seminggu sekali, badan keburu turun lagi,” tuturnya.
Yang tak kalah penting, perasaan senang yang terbangun saat lari. Jika mengejar catatan pribadi terbaik (personal best) tetapi dipaksakan dan menyisakan trauma, maka ada yang salah dengan pola latihan. Pelari harus bisa menikmati lari sehingga rekor pribadi yang diraih dapat dinikmati.
Bambang Oktovianus dari Fake Runners Region, Semarang, mengatakan, mengikuti maraton bukan hal sepele. Pelari tak bisa hanya asal ikut tanpa persiapan matang. ”Latihan, latihan, dan latihan. Persiapan minimal tiga bulan sebelumnya,” katanya.
Ajang Road to Borobudur Marathon 2018 di setiap kota dihelat dalam suasana penuh kekeluargaan. Di Kota Malang, Jawa Timur, setelah berlari sejauh 5 kilometer pada Minggu (21/10), sekitar 100 peserta bercengkerama di halaman Kafe Boks, Jalan Raya Dieng.
Mereka asyik menikmati sejumlah kudapan, mulai dari pisang hingga cokelat tanpa gula plus minuman isotonik dan susu. Mereka yang mau memilih kopi juga tersedia di lokasi.
Suasananya terjalin akrab dan cair. Di Malang, sejumlah komunitas lari yang berpartisipasi, antara lain Freeletics Runner, Batu Runner, dan Running Goal Oriented (RGO). Kapten RGO, Ayong Putranto Suroso, mengatakan, dunia lari di Malang terus berkembang.
RGO yang didirikan dua tahun lalu, misalnya, kini anggotanya lebih dari 200 orang. Mereka dari latar belakang berbeda, seperti mahasiswa, pegawai, hingga ibu rumah tangga. ”Masyarakat kian sadar bahwa hidup sehat bisa diraih dengan olahraga, salah satunya berlari,” katanya.
Akan tetapi, bagi pelari yang ingin lebih serius, semangat saja tak cukup. Rian Krisna, praktisi lari dari Indorunners mengatakan, banyak kejadian buruk di sepanjang lintasan akibat pelari kurang persiapan dan kurang paham soal lari. Jarak bukan tujuan utama, melainkan hanya salah satu tujuan.
”Jangan anggap enteng jarak meski hanya 5 kilometer. Pastikan siap. Full marathon bukan untuk semua orang. Kalau nyaman di jarak 5-10 kilometer, kenapa tidak? Jangan sok,” katanya dalam sesi sharing. ”Pelari yang jago pada jarak 5-10 kilometer belum tentu andal di maraton. Begitu pula sebaliknya,” ujarnya.
Untuk kesehatan
Terlepas dari kebanggaan pribadi, pada hakikatnya lari adalah olahraga termurah untuk hidup sehat. Pada sesi di Kota Surabaya, Sabtu (20/10), yang dihelat di lapangan tenis Java Paragon Hotel & Residence, Ari Nugroho (47) berbagi pengakuan mengenai manfaat positif lari bagi dirinya yang menderita sakit gula.
Dia sempat terapi dengan cairan insulin. Diet ketat dilahapnya. Ari lalu menerima masukan dari sahabatnya agar mulai berlari. Sejak enam bulan silam, seusai shalat Subuh, dia rutin berlari.
”Semua bertahap. Seminggu, saya berlari tiga kali diselingi renang. Dan sejak dua bulan lalu, saya bisa lepas dari insulin,” ucapnya.
Amelia Callista, pendiri komunitas olahraga Girls to Go, menggarisbawahi, dalam acara lari seperti Borobudur Marathon, menjadi juara bukan tidak hanya berdiri di podium. Yang lebih penting yakni mengalahkan diri sendiri.
Mengalahkan diri tak melulu soal waktu karena lari juga terkait etika dan disiplin. Itu diingatkan Rian Krisna yang kembali berbagi di Surabaya. Pelari akan tahu kapan harus tidur sebelum hari lomba, kapan harus bangun, kapan harus tiba, pakaian yang pantas, hingga sepanjang lomba harus mencegah melakukan apa terhadap pelari lain dan masyarakat yang menonton serta mendukung di tepi jalan.
Terkait Borobudur Marathon 2018, komite lomba Christopher Tobing berjanji akan lebih disiplin menerapkan cut-off poin (COP) dan cut-off time (COT) lebih disiplin. Selama ini banyak acara lari di Indonesia tidak menerapkan COT dan COP secara tegas.
”Kenapa COT dan COP kami terapkan secara disiplin karena alasan bahaya dan untuk menjamin keselamatan dan kenyamanan warga. Kalau di luar negeri COT dan COP dilakukan agar kotanya bisa hidup. Jangan sampai pengguna jalan dan warga memaki-maki event maraton,” kata dia.
Pengarah lomba Borobudur Marathon 2018, Andreas Kansil menambahkan, latihan terencana menjadi modal penting bagi pelari mengikuti lomba, terutama kategori maraton.
Jika tak kuat pelari diminta tidak perlu malu mundur. Itu lebih bijaksana ketimbang memaksa tetap berlari, bahkan melebihi COT.
Seperti saat masih bocah, momen berlari selalu diiringi tawa lepas dan kesenangan. Jangan sampai lari justru jadi beban. Sebab, lebih penting untuk lari dengan gembira dan tidak cedera. Jadi, sampai jumpa di Borobudur Marathon.