Magelang, kota sejuk di lembah gunung dan perbukitan di Jawa Tengah, pada masa kolonial pernah dijuluki ”de Tuin van Java” atau ”Taman Pulau Jawa” karena keasriannya. Untuk itu, pemerintah kota serius mengelola sampah. Tak hanya di jalanan kota, pengelolaan sampah juga dilakukan di pasar-pasar tradisional.
Aktivitas jual-beli di Pasar Kebon Polo, Magelang, Kamis (25/10/2018), semakin sepi saat Irwanto dan dua rekannya mulai memilah sampah yang dikumpulkan dari para pedagang di tempat pengolahan sampah pasar. Setiap hari, mulai pukul 15.00, mereka memburu sampah organik untuk dipilah.
Sampah yang terkumpul berkisar 4-6 keranjang per hari. Berat sampah per keranjang mencapai 1 kuintal. Setelah sampah organik dipisahkan, sampah anorganik, seperti plastik dan kertas, diletakkan dalam keranjang untuk diangkut dan dibuang di tempat pembuangan akhir.
Sampah organik dipilah lagi. Sampah sayuran dicacah, digiling, lalu ditaruh dalam tong. Setelah diberi tetes tebu dan zat inokulan untuk mempercepat pembusukan, tong berisi sampah ditutup rapat. ”Setelah 15 hari, sampah dalam tong akan berubah menjadi pupuk kompos,” tutur Irwanto.
Selain sampah padat yang dikumpulkan dari pedagang, Irwanto juga mengumpulkan sampah cair seperti air bekas cucian daging dan air kelapa. Sampah cair dan padat (dari buah-buahan serta bumbu dapur) diproses menjadi pupuk cair.
Karena ditargetkan menjadi pupuk cair, yang diolah adalah cairan dari masing-masing bahan. Sampah buah direndam air, selanjutnya cairan diambil untuk diproses. Sama seperti proses membuat kompos, semua cairan diberi tetes tebu dan inokulan EM4, kemudian didiamkan selama 15 hari.
Belatung lalat
Keseriusan mengolah sampah juga dilakukan di Pasar Rejowinangun, Kecamatan Magelang Tengah. Para petugas kebersihan mengembangkan maggot sebagai pemakan sampah organik sayur dan buah.
Maggot adalah belatung (larva) lalat. Maret lalu, mereka mulai mengembangbiakkan dari 2 kilogram (kg) pupa (kepompong) dan 4 gram telur lalat. Sekitar 1,5 bulan kemudian, mereka berhasil membiakkan belatung dalam empat kotak berukuran 1,2 x 1 meter persegi.
Maggot terbuktif efektif memakan sampah organik sayur dan buah. Dari tahap awal hanya menghabiskan 5-7 kg sampah, meningkat hingga 30-40 kg sampah. Selama satu bulan bisa menghabiskan 3 kuintal sampah.
Pertengahan Juni lalu, kandang belatung sempat diacak-acak tikus. Namun, mereka tidak menyerah. ”Kami berupaya mengembangkan maggot lagi,” ujar Sigit Agus Mujianto, petugas kebersihan di Pasar Rejowinangun.
Di pasar itu juga dilakukan pembuatan kompos. Pupuk kompos dibuat dengan memanfaatkan sampah sisa dari buah nangka.
Kepala Bidang Pasar Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Magelang Sarwo Imam Santoso mengatakan, inovasi mengolah sampah dilakukan sejak tahun 2012.
Pengolahan sampah dirasa perlu dilakukan karena lima pasar tradisional di Kota Magelang menyumbang sampah dalam volume cukup besar, yakni 3-4 truk atau 20 meter kubik sampah per hari.
Pengolahan sampah menjadi kompos dan pupuk cair dilakukan oleh petugas kebersihan yang telah dilatih dinas. Penanganan sampah dengan budidaya maggot dilakukan sebagai bagian dari uji coba inovasi dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kota Magelang.
Dari upaya penanganan sampah ini masyarakat merasakan dampak ganda dari pembenahan pasar. Selain semakin bersih dan nyaman dikunjungi, pasar-pasar tradisional di Kota Magelang kini ramai dikunjungi lembaga pendidikan dari sejumlah kota yang ingin belajar soal pengolahan sampah.
Kebersihan kota menjadi modal utama menarik wisatawan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, rata-rata lama tinggal wisatawan asing di Kota Magelang adalah 2,4 hari.
Angka ini termasuk lima tertinggi dari 35 kabupaten dan kota di Jateng. Para pelari Borobudur Marathon yang menginap di Kota Magelang pun dijamin akan betah.
Dari sudut-sudut pasar tradisional, kebiasaan mengolah, memilah dan memilih sampah bisa terus berkembang menjadi kebiasaan dan gaya hidup setiap warga. Dengan begitu, keasrian ”Kota Sejuta Bunga” terus terjaga. (EGI)