Kecergasan Hidup Para Penembus Batas
Berteman dengan keterbatasan bukan alasan bagi sebagian difabel untuk menyerah menembus masa depan. Di Jawa Barat, mereka yang gigih dan berani sudah membuktikan.
Dengan tangan beralas sandal jepit, Muklis Abdul Kholik (8) merangkak menuju sekolahnya di SD Negeri 10 Cibadak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Senin (12/11/2018).
Hampir setahun dia mengandalkan tumpuan kedua tangannya untuk menjemput masa depan. Kaki Adul, sapaan akrabnya, tumbuh tidak sempurna. Dia hanya enam bulan dalam kandungan.
Adul tak kehilangan semangat. Kondisi jalanan naik turun curam sejauh 3 kilometer dari rumahnya di Kampung Cikiwul Tonggoh, Cibadak, menuju sekolah dilahap sekitar 30 menit setiap hari.
Ia datang pukul 09.30, setengah jam sebelum jam pelajaran dimulai. Siswa kelas III B ini ditemani ibunya, Pipin (45).
”Dulu Adul digendong ke sekolah. Namun, kelas II, minta jalan sendiri karena ingin seperti siswa lain,” ujar Pipin.
Di kelas, Adul tak minder bersaing dengan siswa lain. Ia selalu masuk 10 besar dan aktif menjawab pertanyaan guru. Misalnya, saat wali kelas III B, Euis Hodijah, mengajar pelajaran matematika mengenai metode pengurangan, Selasa siang.
”Faisal membeli pulpen Rp 2.250 dan penggaris Rp 1.500. Faisal membayar Rp 5.000. Berapa yang dikembalikan pada Faisal?” Euis bertanya kepada murid-muridnya.
Para siswa lantas sibuk menghitung. Adul yang pertama mengacungkan tangan. ”Rp 1.250. Caranya uang Faisal dikurangi total pembelian,” ujar Adul.
Euis mengatakan, Adul memiliki kelebihan dibandingkan dengan siswa lain. Dia cepat memahami materi pelajaran. Menurut Kepala SDN 10 Cibadak Agus Musallim, kegigihan dan kedisiplinan Adul jadi teladan bagi siswa dan guru.
”Karena Adul selalu datang tepat waktu, guru dan siswa lain malu datang terlambat,” ujarnya.
Tanpa stigma
Terpisah sekitar 120 km dari Sukabumi, Popon Siti Latipah (32) melangkah pasti saat memasuki kantor Wyata Guna, Kota Bandung, Senin. Difabel netra ini telah membuat janji bertemu Terry Yuliana, pendamping asrama di Wyata Guna, lembaga pendidikan bagi difabel netra.
Latipah tengah mengumpulkan bahan menulis soal kiprah para pendamping siswa di sana. Direkam lewat telepon seluler, sejumlah pertanyaan dilontarkan Latipah. Kehilangan penglihatan sejak 16 tahun lalu, ia mengandalkan ingatan menata percakapan.
Mulai dari alasan jadi pendamping hingga cara membagi waktu kerja dengan keluarga. ”Pertanyaan terakhir, Bu, suka dukanya apa ya?” katanya.
”Saya bahagia mendampingi anak-anak yang kreatif dan penuh semangat,” ujar Terry.
Latipah tersenyum kecil mendengar jawaban itu. Ucapan terima kasih diucapkan menutup perbincangan. Bersama 24 orang lain, Latipah menggawangi newsdifabel.com. Media daring itu diasuh para difabel sejak 11 Agustus 2018. Sebagian besar difabel netra, ada juga difabel rungu dan daksa.
Tidak hanya dari Bandung, kontributor berasal dari Jawa Tengah hingga Jakarta. Latar belakangnya beragam, mulai dari guru, atlet hingga ibu rumah tangga.
Setiap hari mereka berbagi tugas. Reporter dan fotografer turun ke lapangan, merekam dan menulis jadi berita. Sebagian lain mengedit dan mengunggah berita dibantu teknologi masa kini. Keterbatasan fisik tak jadi penghalang.
”Kami ingin menghapuskan stigma pada difabel. Masih banyak orang menganggap kami butuh dikasihani. Bukan itu yang kami mau. Perlakukan kami setara karena banyak hal bisa dilakukan meski caranya berbeda.
Media ini jadi jembatannya,” kata Pemimpin Redaksi newsdifabel.com Suhendar, penyandang low vision (penurunan penglihatan).
Dimulai lewat pelatihan dari beberapa jurnalis di Bandung, mereka berlatih teknik dasar jurnalistik. Akurasi, berimbang dalam menyajikan fakta jadi porsi utama. Kru redaksi sadar, bakal menulis untuk publik, bukan hanya konsumsi pribadi.
Dengan garis merah seputar difabel, mereka mengangkat beragam tema, mulai dari isu hangat dalam hingga luar negeri. Dari pilpres 2019 sampai pengalaman difabel dalam kehidupan sehari-hari.
Latipah mencontohkan, tulisan tentang difabel netra berdandan. Juga tips aman saat difabel berjalan di trotoar perkotaan yang kerap tak ramah.
”Pembacanya lumayan, ada berita yang dibaca hingga 200 orang,” kata Latipah.
Suhendar mengatakan, ujian bagi newsdifabel.com masih panjang.
Banyak yang harus dilakukan untuk menjaga semangat literasi tetap menyala. Salah satunya mencari solusi pendanaan yang harus dibiayai secara mandiri.
”Domain Rp 600.000 per tahun dibeli lewat iuran. Semua kontributor rela tidak dibayar. Jika tetap tidak ada dana lebih pun, tak apa. Semua dijalani dengan cinta untuk Indonesia tanpa stigma,” kata Suhendar.
Ingin kuliah
Jam pelajaran di SDN 10 usai pukul 12.30. Tangan kuat Adul kembali menumpu bobot tubuh untuk pulang. Tak ada beban, dia menjalani dengan bahagia. Setengah jam kemudian, Adul tiba di rumah berukuran 10 meter x 7 meter.
Rumah berdinding bilik itu hanya punya satu kamar. Di dapur, ada tempat tidur berbahan bambu, berlapis kasur tua. Di situ Adul tidur bersama kakaknya, Nurdin Salam (11).
”Tidak ada ruangan lagi. Tidak ada uang untuk merenovasi rumah,” kata Pipin.
Adul dilahirkan dari keluarga kurang mampu. Ayahnya, Dadan Hamdani (53), buruh pemecah batu. Ibunya membuka warung kecil di rumah. Kerja keras itu hanya dihargai tak lebih dari Rp 100.000 per hari.
Kondisi itu membuat mereka tidak mampu menyekolahkan Adul ke SLB. Jarak SLB swasta terdekat sekitar 8 km dari rumah. Mereka tak punya uang untuk membayar iuran sekolah dan ongkos ke sana setiap hari.
”Kami putuskan mendaftar ke SD negeri terdekat dari rumah. Beruntung, Adul semangat menjalaninya,” ujar Pipin.
Di dapur suram itu, semangat Adul bersinar terang. Setelah makan siang seadanya, Adul membuka buku catatan. Dia terbiasa mengulang materi pelajaran yang baru diterima di sekolah.
”Supaya jangan lupa. Harus rajin belajar karena saya ingin kuliah,” ujar Adul yang ingin jadi pemadam kebakaran atau atlet panjat tebing kelak.
Kegigihan Adul dan kiprah awak newsdifabel.com menjadi contoh. Mereka dengan berani menembus batas demi kegemilangan masa depan.
(Tatang Mulyana Sinaga/Cornelius Helmy)