Membangun dari Desa di Borobudur
Kehadiran balai ekonomi desa di sekitar Candi Borobudur lebih dari setahun terakhir menggeliatkan potensi ekonomi warga sekitar. Keberadaannya bukan semata sebagai etalase produk, melainkan juga merevitalisasi kearifan budaya lokal.
Menjelang siang, suara tonggeret bersahutan di antara rindang pepohonan di Desa Kenalan, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Rabu (17/10/2018). Terletak persis di lereng Perbukitan Menoreh, desa tersebut terasa tenang, jauh dari hiruk pikuk kendaraan bermesin. Di sudut desa berdiri bangunan joglo khas Jawa.
”Yang khas di sini wedang (minuman panas) klamijoro. Wedang yang dibuat dengan tumbuhan klamijoro, semacam serai, yang ada di Gunung Gondopuro Wangi. Letaknya persis di atas desa kami,” kata Nurjanah, pengelola Balai Ekonomi Desa (Balkondes) Kenalan, menyambut ramah. Terletak sekitar 12 kilometer di sebelah tenggara Candi Borobudur, nuansa asri begitu terasa saat memasuki bangunan joglo.
Menurut Nurjanah, salah satu komoditas utama Desa Kenalan adalah pandan. Di samping aktivitas utama bertani, sejumlah warga membuat kerajinan seperti tikar dari daun pandan. Ke depan, produk-produk tersebut akan dipajang di balkondes sehingga menjadi daya tarik sekaligus memberi nilai tambah bagi masyarakat.
Lantaran berada di lereng bukit, wahana aktivitas mancakrida (outbound) juga disiapkan di sekitar Balkondes Kenalan.
”Umumnya yang menginap di sini orang-orang dari kota karena mereka mencari suasana sunyi dan asri. Selain rombongan perusahaan, ada juga pribadi,” kata Nurjanah.
Melalui jembatan mini yang membelah kali, pengunjung dapat menuju rumah inap (homestay) Balkondes Kenalan. Terdapat 10 unit rumah inap di balkondes tersebut. Tarif menginap Rp 350.000 per malam.
Pengembangan balkondes diinisiasi pemerintah pusat dengan melibatkan sejumlah badan usaha milik negara (BUMN). Dibangun di lahan milik desa, setiap balkondes disponsori oleh satu BUMN yang mendukung kegiatan promosi potensi desa. Balkondes Kenalan, misalnya, disponsori oleh Bank Mandiri.
Kekhasan desa
Konsep balkondes adalah memanggungkan kekhasan desa. Dengan begitu, potensi ekonomi warga sekitar Candi Borobudur dapat terangkat. Dari konteks wisata, balkondes meningkatkan magnet bagi wisatawan agar tidak hanya berkunjung ke candi.
Seperti di Desa Tanjungsari, yang berjarak 3 kilometer di barat daya candi, telah berdiri Balkondes Duta Menoreh. Duta merupakan singkatan dari madu dan tahu yang merupakan potensi utama desa tersebut. Selain bermalam, pengunjung juga bisa menikmati berbagai sajian berbahan dasar tahu.
Pengelola Balkondes Duta Menoreh, Nurkowim, mengatakan, sejumlah perajin tahu dilibatkan untuk memproduksi berbagai jenis makanan ciri khas desa.
”Ada piza tahu, keripik tahu, tahu bekel, dan pepes tahu. Begitu juga madu karena di desa ini ada peternak lebah yang memproduksi madu murni,” ujarnya.
Kehadiran balkondes diakui turut menghidupkan lagi kearifan lokal. Salah satunya di Desa Karanganyar yang hanya berjarak sekitar 3 kilometer di sebelah barat candi. Sejak dulu, di desa ini telah berkembang pusat kerajinan gerabah, tepatnya di Dusun Klipoh.
Koordinator Balkondes Karanganyar Miftakhul Fauzi menuturkan, pihaknya menyediakan sejumlah paket yang di dalamnya terdapat kegiatan belajar membuat gerabah.
Pengunjung akan diajari langsung perajin gerabah dan hasilnya bisa dibawa pulang. Jika mau ke Klipoh pun bisa. Wisatawan bisa menyaksikan proses pembuatan gerabah secara tradisional langsung di rumah-rumah perajin.
Romawi (40), pengelola Balkondes Ngargogondo, mengatakan, sekalipun hanya berjarak sekitar 2 kilometer dari Candi Borobudur, dahulu Desa Ngargogondo hanya dilintasi para wisatawan.
Jalan-jalan dusun di desa hanya menjadi lokasi kunjungan sepintas lalu bagi wisatawan yang berwisata ataupun berkeliling dengan sepeda. Kala itu, warga desa terbiasa melihat, tanpa berinteraksi langsung. ”Kami seperti jadi penonton,” kata Romawi.
Kondisi tersebut perlahan berubah ketika balkondes berdiri sekitar sebulan lalu. ”Bahkan, balkondes kami pernah mendapat kunjungan 800 orang dalam sehari,” ujarnya.
Namun, Romawi dan rekanrekannya yang kebanyakan petani dan pedagang mengakui melayani tamu bukan perkara mudah. Masalah juga timbul saat melayani tamu-tamu asing.
”Sekalipun hanya bisa bicara yes no, kami tetap berusaha membaca keinginan turis dengan melihat gerak gerik bahasa tubuhnya. Entah bagaimana caranya, pokoknya harus bisa berkomunikasi,” ujarnya.
Melibatkan warga
Tak sekadar menarik kedatangan tamu, kehadiran balkondes juga menjadi sarana mempromosikan potensi khas desa. Desa Kembanglimus, misalnya, memanfaatkan balkondes untuk mengenalkan kembali kuliner khas desa, yaitu mi gedhek. Mi gedhek memakai bahan baku bambu muda atau rebung yang diiris-iris menyerupai mi lalu dimasak seperti mi goreng.
Gedhek adalah bahasa Jawa untuk bambu. Bentuk olahan gedhek dalam versi yang lebih modern adalah spageti gedhek yang memakai rebung sebagai pengganti spageti.
Rohadi, salah seorang perangkat Desa Kembanglimus mengatakan, hidangan gedhek ini direspons bagus dan menjadi santapan favorit para tamu. Tak heran, meski belum mengoperasikan 14 kamar rumah inap yang dimiliki, Balkondes Kembanglimus ramai dikunjungi tamu. Total omzet warung makan balkondes berkisar Rp 30 juta-Rp 40 juta per bulan.
Dari respons bagus itu, Rohadi terpikir untuk mengenalkan lagi kuliner kampungnya yang nyaris punah. ”Ada pepes bluluk (kelapa yang masih sebesar telur), buntil ulek, dan jenang katul (bekatul). Itu semua kearifan lokal di sini. Dulu kami makan bluluk dan katul karena hidup susah, tetapi sekarang akan jadi kuliner yang eksotik,” ujarnya.
Hingga Februari 2018, dari 21 desa di Kecamatan Borobudur, sebanyak 19 desa sudah memiliki balkondes. Sebagian kompleks balkondes juga akan dilintasi para pelari Borobudur Marathon, Minggu (18/11/2018). Melepas lelah usai berolahraga, para pelari bisa bersantai di balkondes-balkondes tersebut sambil mencicipi kuliner ndeso.
Untuk mengelola balkondes, Kementerian BUMN menunjuk PT Patra Jasa. Manajer Pengelola Balkondes dan Homestay PT Patra Jasa, Jatmika Budi Santosa, mengatakan, dari 19 balkondes, sudah terbangun 234 kamar dengan 293 tempat tidur.
Kehadiran balkondes diharapkan mendukung target kunjungan 2 juta wisatawan mancanegara di kawasan Yogyakarta -Solo-Semarang. Balkondes menjadi alternatif bagi tamu yang rata-rata hanya berkunjung 2 jam ke kawasan Borobudur. Diharapkan lama tinggal wisatawan akan meningkat.
Kepala Dinas Pariwisata, Kepemudaan, dan Olahraga Kabupaten Magelang Iwan Sutiarso mengatakan, filosofi pengembangan balkondes adalah pengembangan pariwisata berbasis masyarakat.
Masyarakat harus menjadi pelaku utama pariwisata. Kehadiran balkondes bisa menjadi contoh bagaimana menggelorakan semangat membangun Indonesia dari desa.