Dalam ilmu desain komunikasi visual, nirmana adalah penyusunan beragam elemen, seperti titik, garis, warna, dan ruang dalam kesatuan harmonis. Di Kaliabu, desa kecil di lembah perbukitan Menoreh dan Gunung Sumbing, Jawa Tengah, nirmana menjadi alat perjuangan ekonomi.
Dari rumahnya di Kota Jambi, Sri Sumarni (42) menempuh perjalanan jauh dengan bus umum ke Desa Kaliabu, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Tujuan Sri hanya satu, menimba ilmu desain grafis. ”Saya belajar desain supaya bisa menang lomba dan dapat penghasilan,” katanya.
Sri datang ke Kaliabu setelah menonton tayangan televisi ihwal desa yang dijuluki sebagai ”kampung desainer” itu. Sejak beberapa tahun lalu, banyak warga Kaliabu aktif mengikuti kontes atau lomba mendesain logo yang diselenggarakan secara daring (online) dengan hadiah uang. ”Saya sudah setengah bulan di sini untuk belajar,” kata Sri saat ditemui di Desa Kaliabu, Kamis (18/10/2018).
Sri mengaku nekat datang ke Kaliabu karena butuh uang untuk menafkahi tiga anaknya. Saat ini, dia menjadi orangtua tunggal bagi anak-anaknya karena telah berpisah dengan suami. Tak memiliki pekerjaan tetap, Sri ingin mengikuti jejak warga Kaliabu yang mendapat penghasilan dari mendesain logo.
Selama di Kaliabu, Sri menginap di rumah Muhammad Abdul Bar (48), pionir ”Kampung Desainer.” Dari Abdul, Sri belajar soal desain setelah lebih dulu mempelajari cara mengoperasikan komputer. Untuk belajar, Sri membayar seikhlasnya.
Pembelajaran sejumlah warga Desa Kaliabu ihwal desain grafis dimulai sekitar 2008. Saat itu Abdul yang masih bekerja sebagai sopir bus antarkota antarprovinsi (AKAP) kerap mampir ke warung internet di desanya. Di sana ia diajak seorang tetangga untuk belajar desain grafis.
Akhir 2009, Abdul berhasil memenangi kontes desain logo secara daring dengan hadiah 400 dollar AS. Kemenangan itu memicu banyak warga untuk belajar desain.
Dia mengatakan, saat ini, ada ratusan warga Kaliabu menjadikan desain grafis sebagai pekerjaan utama. Kebanyakan aktif mengikuti kontes logo di sejumlah situs daring, di antaranya 99designs.com, zilliondesigns.com, dan crowdspring.com.
Di situs-situs itu dimuat aneka kontes desain grafis yang biasanya digelar berdasarkan permintaan dari perusahaan di sejumlah negara. Hadiahnya mulai 200 dollar AS hingga lebih dari 1.000 dollar AS.
Perubahan kampung
Kaliabu terletak di Kecamatan Salaman, sekitar 20 kilometer barat laut Candi Borobudur. Daerah yang terletak di jalur penghubung Magelang-Purworejo ini juga dikenal sebagai penghasil bibit buah unggul, termasuk durian.
Bagi para pelari Borobudur Marathon yang hobi berburu durian, kurang lengkap kiranya jika belum menyambangi daerah ini. Apalagi, pertengahan November mulai masuk musim durian.
Namun, tidak semua warga memiliki lahan luas untuk menanam buah-buahan. Kehadiran ”virus” desain, menurut Abdul, cukup banyak mengubah wajah kampung. Para penganggur mulai mendapat penghasilan.
Para pemuda dulu kerap menghabiskan waktu dengan nongkrong atau mabuk-mabukan. ”Setelah ada aktivitas desain, mereka tidak seperti itu,” katanya.
Hingga kini, Kaliabu menjadi ”kawah candradimuka” bagi orang yang ingin belajar desain grafis. Selain menjadi tempat belajar bagi warga daerah lain, Kaliabu melahirkan desainer-desainer baru di antara warga. Proses regenerasi terus terjaga.
Seorang pemuda di Kaliabu yang memutuskan menjadi desainer adalah Khoirul Ihsan (25). ”Saya belajar desain sejak tahun 2014. Awalnya hanya coba-coba belajar dari teman-teman di sini,” katanya.
Dulu, Khoirul bekerja sebagai tenaga pemasaran sepeda motor di Kota Semarang. Karena merasa penghasilannya kurang memadai, dia beralih menekuni desain. ”Kini, dalam sehari saya bisa ikut beberapa kontes. Kalau menangnya tidak tentu, sebulan hanya dua sampai empat kali,” ujar Khoirul.
Selain mengandalkan kontes logo, sebagian warga mulai mencari cara lain agar bisa mendapat penghasilan dari desain grafis. Abdul, misalnya, mulai mencari klien yang mau menggunakan jasanya sebagai desainer.
Warga Kaliabu membuktikan, kemauan belajar yang kuat dapat mendobrak sekat geografis. Terlebih didukung kecepatan teknologi informasi yang membuat dunia seperti kertas yang dilipat. (HRS)