PALU, KOMPAS Penanganan dampak gempa, tsunami, dan likuefaksi di Sulawesi Tengah diharapkan bukan sekadar merekonstruksi dan merehabilitasi kawasan terdampak. Warga juga berharap perekonomian yang terganggu atau terhenti segera disentuh dan dibangkitkan.
Warga di pengungsian dan hunian sementara (huntara) di Kota Palu dan Kabupaten Sigi bertahan hidup dari bantuan sukarelawan melalui posko-posko. Saat ditemui, Rabu (14/11/2018), sejumlah warga menyatakan ingin segera bangkit kembali bekerja agar mendapat penghasilan.
Ibu-ibu pembuat penganan, misalnya, tidak bisa berjualan karena kompor, wajan, dan bahan tidak terselamatkan dari bencana. Warga yang memiliki usaha menjahit juga belum bisa kembali beraktivitas karena mesin rusak dan tak punya uang untuk membeli mesin baru.
”Kami mengharapkan bantuan untuk menggerakkan kembali roda perekonomian,” ujar Saimah (44), pengungsi dari Desa Jono Oge, Sigi, yang ditemui di huntara di Desa Lolu, Sigi.
Saimah mengharap bantuan mesin jahit agar suaminya, Sukidi (58), bisa kembali berusaha. Ia sendiri mengharapkan peralatan dan perlengkapan memasak.
Menurut Sukidi, mereka tertekan karena hidup mengandalkan bantuan. Mereka ingin kembali bangkit berusaha sendiri, tetapi tak punya modal. ”Harta benda musnah akibat likuefaksi. Bagaimana saya bisa kembali menjahit,” katanya.
Ditemui secara terpisah, Saiful, pengungsi dari Kelurahan Balaroa, Palu, mengatakan, baru tiga hari terakhir mendapat pekerjaan serabutan sebagai sopir mobil sewaan. Sebelum bencana, Saiful berjualan makanan dan minuman secara tidak menetap.
Likuefaksi menimbun rumah beserta harta dan perlengkapan usaha Saiful di Balaroa. ”Saya masih beruntung dapat pekerjaan. Uang akan saya sisihkan untuk membeli peralatan usaha lagi,” ujarnya.
Menurut Direktur Rumah
Sakit Lapangan Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) dr Almahira, yang ditemui di Sigi, pemulihan kehidupan ekonomi diyakini membawa dampak positif bagi kesehatan jiwa dan raga penyintas.
”Hidup secara terbatas di pengungsian membuat penyintas sakit atau rentan sakit,” katanya.
Data RS Lapangan BSMI menyebutkan, 3.300 warga berobat dengan keluhan diare, gatal, dan infeksi saluran pernapasan. Ada juga pasien ortopedi (20 orang), pasien gigi (40), dan persalinan (11). BSMI menggandeng puskesmas untuk layanan klinik keliling yang menangani 1.500 pasien di pedalaman di Sigi.
Menurut catatan sukarelawan BSMI, kebutuhan utama pengungsi adalah air, makanan, dan layanan kesehatan. ”Mereka juga perlu segera dibangkitkan dengan program pemulihan ekonomi agar keluar dari tekanan memori kelam akibat bencana,” kata Nazir Hadan dari Komando Operasi RS Lapangan BSMI.
Bencana 28 September itu melanda Kota Palu dan tiga kabupaten, yakni Sigi, Donggala, dan Parigi Moutong. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Pemprov Sulteng menyebutkan, gempa, tsunami, dan likuefaksi merusak hampir 80.000 rumah warga dan 126.000 jiwa mengungsi. (BRO)